JAKARTA – Industri modul surya atau Photovoltaics (PV) nasional terancam gulung tikar. Pasalnya, kini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi pilihan terakhir untuk dijadikan pembangkit listrik. Selain karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, pandemi virus Corona atau Covid-19 membuat impor bahan baku terhambat sehingga mendongkrak harga panel surya domestik.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengungkapkan berdasarkan kajian yang dilakukan sejak awal 2020, sebagian besar pengusaha PV lokal sudah mengurangi produksi, bahkan menghentikan produksi sejak dua bulan lalu.

“Impor bahan baku periode sebelumnya terkendala, supply chain China belum pulih berpengaruh terhadap impor material produksi. Jadi mereka terkendala, permintaan turun, impor bahan baku terkendala, sehingga pabrik tidak bisa optimal,” kata Fabby dalam diskusi virtual, Selasa (21/4).

Kenaikan produk secara signifikan juga tidak terbendung lantaran rupiah terus tertekan oleh dolar Amerika Serikat. Ini membuat panel surya domestik akhirnya kalah bersaing dengan panel surya impor yang lebih murah. Alhasil tidak ada pesanan panel surya dari sektor bisnis maupun komersial dan masyarakat dalam jumlah besar.

“Mereka hanya mengandalkan proyek-proyek pemerintah, berpotensi kolaps enam bulan ke depan jika tidak ada order. Masa depan PV domestik terancam kehabisan modal kerja, tenaga kerja musti di layoff,” ungkap Fabby.

Indonesia memiliki kapasitas produksi modul surya mencapai 500-600 megawatt (MW). Sejak Maret hingga April 2020 permintaan terhadap pemasangan modul surya sendiri turun signifikan antara 50%-100%. “Ada yang sama sekali EPC tidak mendapatkan order. Ada juga yang mendapatkan order itu yang sudah ada komtimen sebelumnya,” kata dia.

Kondisi ini menurut Fabby cukup berbahaya dan berpotensi besar membuat targetan pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemanfaatan tenaga surya tidak akan tercapai. Untuk itu pemerintah harus melakukan intervensi terhadap kondisi ini dengan tetap menjalankan program pemasangan PLTS melalui program pemerintah.

“Dalam target RUEN diantaranya adalah 30% luasan atap bangunan pemerintah ditutup dengan PLTS. Jadi setiap kementerian bisa mempunyai proyek pengadaan PLTS atap harga bisa kompetitif, kalau harus ambil dari produsen dalam negeri itu sebenarnya bisa diberikan komitmen untuk terus berproduksi dibeli pemerintah,” kata Fabby.

Hariyanto, Direktur Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan wabah Covid-19 membuat revisi alokasi dilakukan. Untuk program EBT tidak luput dari evaluasi anggaran. Dana pusat akan difokuskan penanganan virus sementara proyek EBT pemerintah daerah akan lebih banyak berperan, sehingga akan ada penurunan volume pengadaan.

“Ada refocusing penurunan volume sedikit, kami fokuskan pada proyek-proyek EBT yang men-generate yang ada di daerah. Volume sementara di data kami untuk PLTS itu desain awal sekitar 800 unit sekarang tinggal 114 unit. kemudian untuk PJUTS tadinya sekitar 40 ribu titik menjadi 26 ribu titik,” kata Hariyanto.(RI)