JAKARTA – Gas bumi diprediksi masih akan menjadi tulang punggung energi nasional hingga tahun 2050. Meski prosentase energi terbarukan terus meningkat, namun gas masih memiliki peran penting dalam penyediaan energi.

Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, menyatakan prosentase gas bumi tahun 2050 dalam Bauran Energi Nasional diperkirakan mencapai 24%, sementara minyak bumi 20% dan energi terbarukan 31%.

“Meski prosentase EBT semakin besar, gas masih akan menjadi tulang punggung energi nasional. Indonesia masih sulit lepas dari gas mengingat sumber daya yang ada cukup besar, selain itu juga berfungsi sebagai pendorong ekonomi,” kata Tutuka, Rabu (10/11).

Hingga saat ini, gas bumi lebih banyak dimanfaatkan untuk dalam negeri. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, hingga Juni 2021, total pemanfaatan gas mencapai 5.661,38 BBTUD. Dari jumlah tersebut, gas paling banyak digunakan untuk industri yaitu mencapai 28,22% atau sekitar 1.597,44 BBTUD. Pemanfaatan gas untuk pabrik pupuk, tercatat mencapai 705,03 BBTUD atau 12,45% dan sektor kelistrikan sebesar 681,50 BBTUD atau 12,04%, serta domestik LNG sebesar 504,51 BBTUD atau 8,91%.

“Optimasi pemanfaatan gas untuk dalam negeri supaya industri domestik tumbuh, kelistrikan terpenuhi, baru kemudian diekspor,” ujar Tutuka.

Untuk mendukung kegiatan industri dan kelistrikan tersebut, Pemerintah telah menetapkan Kepmen ESDM Nomor 134 Tahun 2021 mengenai pengguna dan harga gas bumi tertentu di bidang industri dan Kepmen Nomor 118 dan 135 Tahun 2021 mengenai harga gas bumi di pembangkit tenaga listrik (plant gate). Dalam aturan tersebut, harga gas untuk industri dan kelistrikan ditetapkan sebesar US$6 per MMBTU.

Sementara itu, Pemerintah juga mengembangkan infrastruktur gas bumi dengan target penyambungan jaringan pipa transmisi gas di Jawa dan Sumatera, serta penyediaan gas di wilayah-wilayah sesuai rencana RUPTL. Upaya yang dilakukan berupa pembangunan pipa gas Cirebon- Semarang sepanjang 260 km, pipa gas Dumai-Sei Mangke sepanjang 360 km dan membangun mini regas dan FSRU/FSU dan FRU.

Menurut rencana, pipa gas Cirebon-Semarang akan mulai dibangun tahun 2022. “Mulainya dari Semarang ke Batang. Nanti lanjut ke Cirebon. Kalau itu nyambung dengan pipa dari Sumatera, maka akan tersambung pipa dari Sumatera hingga Jawa Timur dan itu bisa mengurangi kekurangan gas. Misalnya, kalau gas Sumatera kurang, kita bisa kirim dari Jatim. Demikian pula sebaliknya,” jelas Tutuka.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan gas di Indonesia Timur, dilakukan dengan mini regas LNG. Di wilayah ini, gas akan digunakan sebagai pengganti diesel untuk kelistrikan.

Gas bumi juga dimanfaatkan untuk masyarakat dalam bentuk jaringan gas untuk rumah tangga (jargas). Dengan dana APBN, hingga tahun 2020, sebanyak 535.555 sambungan rumah (SR) telah terbangun di 17 provinsi, 54 kabupaten/kota.

Untuk meningkatkan jumlah sambungan yang terbangun, Pemerintah berencana menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) mulai 2 tahun mendatang. Dengan skema ini, diharapkan sebanyak 1 juta SR dapat terbangun tiap tahunnya. (RI)