NEW YORK- Harga minyak mentah melonjak pada akhir perdagangan Kamis atau Jumat (25/2) pagi WIB didorong serangan Rusia terhadap Ukraina yang memperburuk kekhawatiran investor atas pasokan energi global. Harga minyak Brent sempat bertengger di atas US$105 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014 sebelum turun kembali.

Mengutip Reuters, ratokan global minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April terangkat US$2,24 atau 2,3%, menjadi menetap di US$99,08 per barel, setelah menyentuh level tertingginya di US$105,79.

Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Maret naik US$71 sen atau 0,8%, menjadi ditutup di US$92,81 per barel, setelah mencapai tertinggi sesi di US100,54.  Brent dan WTI masing-masing mencapai level tertinggi sejak Agustus dan Juli 2014.

Harga minyak dunia terkerek naik menyusul langkah Rusia melancarkan invasi habis-habisan ke Ukraina melalui darat, udara dan laut dalam serangan terbesar oleh satu negara terhadap negara lain di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.

Setelah serangan tersebut, Presiden AS Joe Biden meluncurkan sanksi baru yang keras terhadap Rusia, memberlakukan langkah-langkah untuk menghambat kemampuannya melakukan bisnis dalam mata uang utama dunia bersama dengan sanksi terhadap bank dan perusahaan milik negara.

Inggris mengumumkan langkah-langkah baru yang menargetkan bank, anggota lingkaran dalam Putin dan orang-orang sangat kaya yang menikmati gaya hidup London yang mewah. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan bahwa Barat harus mengakhiri ketergantungannya pada minyak dan gas Rusia.

Di sesi tersebut, harga mereda setelah Biden mengatakan Amerika Serikat bekerja sama dengan negara-negara lain dalam pelepasan gabungan minyak tambahan dari cadangan minyak mentah strategis global. “Berita seputar rilis cadangan itu memiliki dampak psikologis, tetapi apakah ada dampak nyata akan memakan waktu beberapa minggu untuk menentukan,” kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group di Chicago.

Rusia adalah produsen minyak terbesar ketiga dan eksportir minyak terbesar kedua, kata analis UBS Giovanni Staunovo. “Mengingat persediaan rendah dan kapasitas cadangan berkurang, pasar minyak tidak mampu menanggung gangguan pasokan yang besar,” tambahnya. Rusia juga merupakan penyedia gas alam terbesar ke Eropa, menyediakan sekitar 35% dari pasokannya.

Setidaknya tiga pembeli utama minyak Rusia tidak dapat membuka surat kredit dari bank-bank Barat untuk menutupi pembelian pada Kamis (24/2), sumber mengatakan kepada Reuters.

Disisi lain, China memperingatkan dampak ketegangan terhadap stabilitas pasar energi. “Semua negara yang benar-benar bertanggung jawab harus mengambil tindakan yang bertanggung jawab untuk bersama-sama menjaga keamanan energi global,” kata juru bicara kementerian luar negeri China.

Di Amerika Serikat, persediaan minyak mentah komersial naik 4,5 juta barel pekan lalu menjadi 416 juta barel, jauh lebih banyak dari ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters untuk peningkatan 400.000 barel.

Namun, minyak mentah dalam cadangan minyak strategis (SPR) AS turun 2,4 juta barel menjadi 582,4 juta barel, terendah sejak 2002, menurut data pemerintah.

Secara global, pasokan minyak tetap ketat karena permintaan pulih dari posisi terendah pandemi.

Mencerminkan ketatnya pasokan, premi pada kontrak Brent untuk pemuatan dalam satu bulan dibandingkan kontrak untuk pemuatan dalam enam bulan, sebuah metrik yang diawasi ketat oleh para pedagang, mencapai rekor tertinggi pada 13,07 dolar AS per barel. Analis mengatakan Brent kemungkinan akan tetap di atas 100 dolar AS per barel sampai pasokan alternatif yang signifikan tersedia dari minyak serpih AS atau Iran, misalnya.

Amerika Serikat dan Iran telah terlibat dalam pembicaraan nuklir tidak langsung di Wina yang dapat mengarah pada penghapusan sanksi terhadap penjualan minyak Iran.

Pejabat tinggi keamanan Iran, Ali Shamkhani, mengatakan di Twitter bahwa adalah mungkin untuk mencapai kesepakatan nuklir yang baik dengan kekuatan Barat setelah kemajuan signifikan dalam negosiasi. Analis memperingatkan tekanan inflasi pada ekonomi global dari minyak US$100, terutama untuk Asia, yang mengimpor sebagian besar kebutuhan energinya. (RA)