JAKARTA – Pemerintah harus mengantisipasi terhadap kenaikan harga minyak dunia secara drastis akibat penyerangan fasilitas produksi dan pengolahan minyak Saudi Aramco di Arab Saudi. Serangan tersebut membuat produksi minyak Saudi Aramco berkurang hingga 50% atau 5,7 juta barel produksi minyak mentah per hari.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate naik 10,4% atau sekitar US$5,72 menjadi US$60,57 per barel. Minyak mentah Brent juga melonjak 11,8% atau sekitar US$7,09 menjadi US$67,31.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan kondisi harga minyak saat ini menjadi peringatan bagi pemerintah sekaligus harus mewaspadai dalam penyusunan asumsi harga minyak untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020. Kenaikan drastis harga minyak  sebagai respon awal atas serangan di Arab Saudi, namun bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan berlanjut sehingga harga minyak bisa terus merangkak naik.

“Ini akan ke APBN dampaknya harus hati-hati buat asumsi, termasuk di dalam kebijakan subsidi,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Senin (16/9).

PT Pertamina (Persero) adalah pihak yang paling bisa dirugikan jika kondisi harga minyak dunia sekarang tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Pasalnya, perusahaan migas pelat merah sebagai badan usaha penugasan untuk pendistribusian BBM jenis khusus penugasan atau solar. Jika asumsi tidak tepat maka subsidi bisa membengkak.

“Kalau subisidi fix seperti sebelumnya per liter berapa Pertamina yang akan terkena cukup berat karena selisihnya harusnya ditanggung konsumen tapi kan pemerintah tidak ingin nama baiknya hilang, pasti akan menahan harga. Bebannya jadi ke Pertamina,” ungkap Komaidi.

Pada 2020, subsidi solar diusulkan sebesar Rp1.500 per liter. Kesepakatan tersebut naik dibandingkan usulan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp 1.000 per liter.(RI)