JAKARTA – PricewaterHouseCopper dalam laporan “Mine 2017” menyimpulkan sektor pertambangan mengalami kebangkitan pada tahun lalu. Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil survei terhadap 40 perusahaan tambang dunia.
Kebangkitan sektor pertambangan ditunjukkan dari raihan laba bersih agregat yang dibukukan perusahaan tambang kelas dunia mencapai US$20 miliar. Padahal pada tahun sebelumnya 40 perusahaan tersebut merugi hingga US$28 miliar.
Kinerja positif tersebut berimbas pada peningkatan pembayaran utang, kapitalisasi pasar oleh 40 usaha pertambangan teratas dunia juga naik 45% menjadi US$714 miliar. Pengembalian utang mencapai total US$93 miliar atau naik dari US$73 miliar dari tahun sebelumnya.
Dan menariknya, sebagian besar penyaluran utang digunakan untuk pembiayaan kembali, dan bukan untuk dana akuisisi atau pembangunan tambang.
Jock O’Callaghan, Global Mining and Metals leader PwC mengatakan melihat narasi untuk 40 usaha pertambangan teratas dunia pada 2016 yang terbaca seperti peringatan keselamatan yang biasa ditemukan di lokasi tambang.
“Industri pertambangan telah keluar dari bahaya, tetapi 2016 bukanlah tahun untuk bertindak. Kini kita menunggu sambil melihat siapa yang akan cukup berani untuk mengambil langkah yang melebihi keyakinan pasar yang fluktuatif,” kata Callaghan.
Sayangnya kinerja positif tersebut tidak diikuti belanja modal dan anggaran eksplorasi. Belanja modal perusahaan tambang papan atas tercatat turun 41% menjadi US$50 miliar. Demikian juga dengan anggaran eksplorasi yang turun menjadi hanya sebesar US$7,2 miliar.
Menurut Callaghan, ada kenaikan rasio utang terhadap modal (gearing ratio) sebesar 41%, turun dari angka rekor 2015 sebesar 49%. Namun angka ini masih jauh di atas angka rata-rata 10 tahun sebesar 29%.
“Menariknya, kami juga menemukan sekitar separuh dari jumlah belanja modal diinvestasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat mempertahankan usaha. Kecilnya porsi modal pertumbuhan sangat mencolok dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ungkap dia.
Sacha Winzenried, Lead Advisor PwC Indonesia Bidang Kelistrikan, Utilitas dan Pertambangan, menilai data global yang diperoleh relatif konsisten dengan pengalaman di Indonesia.
Menurut dia, belanja modal untuk eksplorasi pertambangan dipangkas cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Industri pertambangan pada khususnya mengkhawatirkan tentang belanja modal yang tidak mencukupi untuk mempertahankan produksi pada tingkat yang ada saat ini.
“Serta untuk mengembangkan usaha di masa depan guna memenuhi permintaan batubara dalam negeri.” kata Sacha.
Sacha mengatakan di Indonesia, tingkat kredit bermasalah yang dialami sektor perbankan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan akhirnya stabil pada 2017, dan perbankan kini dilaporkan kembali bersedia memberikan pinjaman untuk proyek-proyek pertambangan.
Salah satu penyebabnya tidak lain karena harga komoditas yang mengalami kenaikan pesat memicu kembalinya optimisme pasar dan mendongkrak peringkat kredit dari 40 perusahaan teratas tersebut dan industri pertambangan secara umum.
Jika dilihat batu bara termal dan kokas mengalami fluktuasi harga yang cukup besar pada 2016. Hal Ini terutama disebabkan oleh pernyataan China tentang akan adanya pengurangan jumlah hari kerja di pertambangan batu bara. Meski kemudian kebijakan tersebut ditarik kembali.
Kemudian bijih besi juga memanfaatkan momentum ekspansi manufaktur dan baja China, namun semua jenis logam menutup tahun itu pada harga yang lebih tinggi dibanding dengan awal tahun.
Sacha mengatakan faktor-faktor penggerak global seperti permintaan dari China masih mendominasi harga spot, namun margin di Indonesia mengalami dampak signifikan dari regulasi dalam negeri. Serta biaya bahan bakar dan kontraktor.
Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Listrik 2017 yang ditandangani terlihat peningkatan permintaan batu bara termal dalam negeri yang signifikan dari program 35 GW, walaupun mungkin tidak secepat yang diharapkan industri.
“Namun perusahaan-perusahaan pertambangan harus lebih memperhatikan biaya bahan bakar, yang meningkat pesat,” tandas Sacha.(ES)
JAKARTA – PricewaterHouseCopper dalam laporan “Mine 2017” menyimpulkan sektor pertambangan mengalami kebangkitan pada tahun lalu. Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil survei terhadap 40 perusahaan tambang dunia.
Kebangkitan sektor pertambangan ditunjukkan dari raihan laba bersih agregat yang dibukukan perusahaan tambang kelas dunia mencapai US$20 miliar. Padahal pada tahun sebelumnya 40 perusahaan tersebut merugi hingga US$28 miliar.
Kinerja positif tersebut berimbas pada peningkatan pembayaran utang, kapitalisasi pasar oleh 40 usaha pertambangan teratas dunia juga naik 45% menjadi US$714 miliar. Pengembalian utang mencapai total US$93 miliar atau naik dari US$73 miliar dari tahun sebelumnya.
Dan menariknya, sebagian besar penyaluran utang digunakan untuk pembiayaan kembali, dan bukan untuk dana akuisisi atau pembangunan tambang.
Jock O’Callaghan, Global Mining and Metals leader PwC mengatakan melihat narasi untuk 40 usaha pertambangan teratas dunia pada 2016 yang terbaca seperti peringatan keselamatan yang biasa ditemukan di lokasi tambang.
“Industri pertambangan telah keluar dari bahaya, tetapi 2016 bukanlah tahun untuk bertindak. Kini kita menunggu sambil melihat siapa yang akan cukup berani untuk mengambil langkah yang melebihi keyakinan pasar yang fluktuatif,” kata Callaghan.
Sayangnya kinerja positif tersebut tidak diikuti belanja modal dan anggaran eksplorasi. Belanja modal perusahaan tambang papan atas tercatat turun 41% menjadi US$50 miliar. Demikian juga dengan anggaran eksplorasi yang turun menjadi hanya sebesar US$7,2 miliar.
Menurut Callaghan, ada kenaikan rasio utang terhadap modal (gearing ratio) sebesar 41%, turun dari angka rekor 2015 sebesar 49%. Namun angka ini masih jauh di atas angka rata-rata 10 tahun sebesar 29%.
“Menariknya, kami juga menemukan sekitar separuh dari jumlah belanja modal diinvestasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat mempertahankan usaha. Kecilnya porsi modal pertumbuhan sangat mencolok dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ungkap dia.
Sacha Winzenried, Lead Advisor PwC Indonesia Bidang Kelistrikan, Utilitas dan Pertambangan, menilai data global yang diperoleh relatif konsisten dengan pengalaman di Indonesia.
Menurut dia, belanja modal untuk eksplorasi pertambangan dipangkas cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Industri pertambangan pada khususnya mengkhawatirkan tentang belanja modal yang tidak mencukupi untuk mempertahankan produksi pada tingkat yang ada saat ini.
“Serta untuk mengembangkan usaha di masa depan guna memenuhi permintaan batubara dalam negeri.” kata Sacha.
Sacha mengatakan di Indonesia, tingkat kredit bermasalah yang dialami sektor perbankan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan akhirnya stabil pada 2017, dan perbankan kini dilaporkan kembali bersedia memberikan pinjaman untuk proyek-proyek pertambangan.
Salah satu penyebabnya tidak lain karena harga komoditas yang mengalami kenaikan pesat memicu kembalinya optimisme pasar dan mendongkrak peringkat kredit dari 40 perusahaan teratas tersebut dan industri pertambangan secara umum.
Jika dilihat batu bara termal dan kokas mengalami fluktuasi harga yang cukup besar pada 2016. Hal Ini terutama disebabkan oleh pernyataan China tentang akan adanya pengurangan jumlah hari kerja di pertambangan batu bara. Meski kemudian kebijakan tersebut ditarik kembali.
Kemudian bijih besi juga memanfaatkan momentum ekspansi manufaktur dan baja China, namun semua jenis logam menutup tahun itu pada harga yang lebih tinggi dibanding dengan awal tahun.
Sacha mengatakan faktor-faktor penggerak global seperti permintaan dari China masih mendominasi harga spot, namun margin di Indonesia mengalami dampak signifikan dari regulasi dalam negeri. Serta biaya bahan bakar dan kontraktor.
Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Listrik 2017 yang ditandangani terlihat peningkatan permintaan batu bara termal dalam negeri yang signifikan dari program 35 GW, walaupun mungkin tidak secepat yang diharapkan industri.
“Namun perusahaan-perusahaan pertambangan harus lebih memperhatikan biaya bahan bakar, yang meningkat pesat,” tandas Sacha.(ES)
tren batubara juli 2016 s/d juli 2017 juli 2018 US$ 70 s/d US$ 105,kalau US$ 70 x Rp.13.000 =450juta Mt Rp.410T bagi 3 perusahaan masih sisa Rp.123 T dengan ansur kredit Rp.928.2 T 2tahun ini bisa lancar untuk bayar kredit bank,karena domistik juga banyak manambah pembangkit listrik perlu batubara.-