JAKARTA – Kebijakan pemerintah terkait harga gas khusus untuk industri maksimal sebesar US$6 per MMBTU diharapkan bisa memberikan nilai tambah yang maksimal bagi negara. Kebijakan tersebut diharapkan kedepannya juga ada perbaikan sehingga ada keseimbangan dalam penerimaan manfaat.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan kebijakan harga khusus gas tersebut ternyata memberikan dampak juga terhadap Dana Bagi Hasil (DBH) Migas ke daerah. Dia menegaskan untuk menurunkan harga gas bumi sampai jadi US$6 per MMBTU sampai tingkat konsumen, negara harus berkorban mengurangi pendapatannya dari sektor hulu migas. Ini yang kemudian mempengaruhi DBH Migas ke daerah.

“Mengenai berkurangnya DBH perlu sosialisasi dalam keputusan negara untuk membikin harga murah pada gas,” kata Satya, dalam diskusi virtual Indonesia Gas Society (IGS), Kamis (24/5).

Menurut Satya, sosialisasi tersebut penting agar semua pihak bisa memahami kebijakan yang diambil pemerintah. Salah satu cara untuk bisa mengganti DBH Migas yang berkurang misalnya dengan mendorong industri untuk berinvestasi di daerah. “Itu bisa jadi subtitusi DBH yang berkurang, jadi ada pajak nanti di daerah bertambah,” ungkap Satya.

Kebijakan harga gas  tidak bisa dirasakan secara langsung pada saat ini. Apalagi ada kondisi Covid-19 yang memberikan dampak cukup signifikan terhadap operasional industri maupun penyerapan harga gas. “Manfaatnya memang tidak bisa langsung, nanti dituai,” tukas Satya.

Menurut Satya, dengan dievaluasi secara menyeluruh, baik dari sisi penerimaan negara dari sektor hulu migas, pendapatan negara dari pajak dan serta industri yang mendapat insentif harga gas US$6 per MMBTU maka diharapkan kompetitif dan daya saing industri yang diharapkan tidak mengorbankan kepentingan lain yang juga tidak kalah penting.

DEN kata Satya berharap bahwa harga gas murah itu benar-benar berdampak terhadap penerimaan PNPB di sektor lain dan pajak yang diakibatkan dari pertumbuhan industri.

“Niatan kita membuat industri kompetitif ini sudah luar biasa. mudah-mudahan ada balance apa yang sudah dikorbankan,” ujarnya.

Selain mempengaruhi DBH migas ke daerah. Kebijakan ini ternyata belum memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan negara dari sisi pajak.

Arief Setiawan Handoko, Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan setoran pajak tujuh sektor industri yang mendapat penyesuaian harga gas justru menurun. Padahal dalam rencana awal pemberian insentif harga gas diharapkan bisa meningkatkan pendapatan negara dari sisi pajak.

Tercatat pada 2019 penerimaan pajak dari tujuh sektor industri sebesar Rp44,89 triliun. Namun pada 2020 jumlahnya menurun Rp40,09 triliun dan kuartal I 2021 baru sebesar Rp10,23 triliun. “Dampak penerimaan pajak kalau dibandingkan 2019 ke 2021 pajak kok tidak meningkat, tetapi dari 2019 malah turun,” ujarnya.

Menurut Arief, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun demikian kebijakan penurunan harga gas penting untuk dievaluasi, dengan pertimbangan perekonomian dalam negeri.

SKK Migas pun telah melakukan evaluasi terhadap adanya tambahan permintaan industri yang ingin mendapat insentif harga gas US$6 per MMBTU. Pemerintah tidak akan serta merta memberikan insentif tersebut dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi ketat kepada industri yang mengajukan insentif harga gas khusus.

“Tentunya untuk melakukan ini pemerintah sudah membentuk tim evaluasi melalui kepmen 169 K 2020 dari hulu sampai hilir melakukan evaluasi penetapan harga gas bumi, pengkinian data calon pengguna gas bumi, terkait penerimaan negara yang mengkompensasi penurunan harga gas,” kata Arief.(RI)

 

*) Tulisan ini adalah revisi pertama.