BANDUNG – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan tidak ada kenaikan tarif dasar listrik pada 2020 seiring terus menurunnya harga bahan baku seperti batu bara dan gas.

“Kalau kami lihat harga gas turun banyak, harga batu bara juga turun. Kami pakai patokan batas atas untuk PLN itu US$70 per ton,” kata Jonan di Bandung, Rabu (11/9).

Menurut Jonan, penurunan paling terlihat di harga batu bara. Di sisi lain batu bara sampai sekarang masih mendominasi porsi energy mix nasional. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi kontributor terbesar penghasil listrik dengan porsi lebih dari 50% disusul oleh gas sekitar 20%.

Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No.1410 K/30/MEM/2018 terkait harga khusus batu bara yang mulai berlaku sejak 12 Maret 2018 hingga 31 Desember 2019. Dalam beleid itu disebutkan harga khusus batu bara bagi pembangkit listrik ditetapkan US$70 per ton jika Harga Batu bara Acuan (HBA) berada di atas US$70 per ton. Namun bila harga di bawah US$70 per ton maka transaksi batu bara bagi pembangkit listrik merujuk pada HBA.

HBA pada periode September 2019 anjlok 9,4% menjadi US$65,79 per ton, jika dibanding periode Agustus sebesar US$72,67 per ton.

Jonan mengatakan dengan rendahnya HBA dan gas ini maka tidak perlu ada kenaikan harga listrik. Apalagi jika didukung dengan nilai kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS yang stabil di posisi Rp 14 ribuan per dolar AS.

“Untuk kalorinya 6.322 GAR, sekarang di GAR 6.322 harganya sekitar US$ 65/ton jadi mestinya harga listrik tidak perlu ada penyesuaian naik. Nanti kami lihat sih, tapi kalau menurut saya sih kalau kurs di Rp 14 ribuan mestinya sih minimal tidak naik,” kata Jonan.

Pemerintah pada 2020 berencana untuk kembali memberlakukan tarif adjusment atau tarif penyesuaian.

Hal ini dilakukan lantaran adanya pemangkasa subsidi tahun depam sehingga pelanggan 900VA RTM atau non subsidi tidak lagi mendapatkan subsidi. Harga tarif listrik berubah mengikuti harga minyak nasional atau Indonesia Crude Price (ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat serta laju inflasi yang akan dievaluasi setiap tiga bulan.(RI)