JAKARTA – Harga Batu bara Acuan (HBA) pada Agustus 2019 rebound  jika dibanding bulan-bulan sebelumnya.  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan HBA periode Agustus 2019 sebesar US$ 72,67 per ton, naik tipis US$0,75 per ton atau sebesar 1,04% dibanding bulan lalu yang berada di level US$71,92 per ton.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, mengatakan tipisnya kenaikan HBA lantaran belum ada perubahan kondisi signifikan sejak tren penurunan harga terjadi akhir tahun lalu.

“Kondisi pasar relatif masih belum ada perubahan. Masih sama seperti bulan sebelumnya,” kata Agung di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (5/8).

Agung menuturkan penetapan HBA merujuk pada index pasar internasional. Ada empat index yang dipakai Kementerian ESDM yakni Indonesia Coal Index (ICI), New Castle Global Coal (GC), New Castle Export Index (NEX), dan Platts59. Adapun bobot masing-masing index sebesar 25% dalam formula HBA. Artiannya pergerakan harga batu bara dipengaruhi oleh pasar internasional.

Harga batu bara terus tertekan sejak awal 2019 kemarin. Hal itu lantaran Tiongkok mengurangi impor seiring dengan peningkatan produksi batu bara untuk kebutuhan dalam negeri. Selain itu, ketersediaan batu bara berlimpah seiring langkah Rusia menjual batu bara ke pasar Asia.

Melorotnya harga batu bara sudah dimulai sejak September 2018 kemarin. Kala itu HBA berada di posisi US$104,81 per ton. Kemudian terkoreksi di bulan berikutnya menjadi US$100,89 per ton dan berlanjut di November sebesar US$97,90 per ton. Pada penutupan 2018 pun harga masih melemah di level US$92,51 per ton. Pada awal 2019 tren penurunan harga masih terjadi lantaran HBA berada di posisi US$92,41 per ton. Kebijakan pemerintah Tiongkok yang membatasi kuota impor menjadi faktor utama melemahnya harga tersebut.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), mengungkapkan sedikit terkatrolnya harga disebabkan kenaikan permintaan batu bara Indonesia untuk kalori menengah dan tinggi.

Ia menjelaskan China membutuhkan kedua jenis batu bara itu untuk menutup kekurangan pasokan dari Australia, lantaran beberapa tambang di negeri Kangguru mengalami gangguan produksi. “Tapi secara umum kondisi pasar masih sama. Over supply masih terjadi,” ujarnya.

Namun demikian menurut Hendra pergerakan harga batu bara masih sulit diprediksi. Kenaikan yang dialami bulan Agustus juga belum tentu berlanjut.

Secara keseluruhan jumlah permintaan batu bara dunia juga belum meningkat tapi di sisi lain jumlah produksi terus naik. Kondisi ini akan mengakibatkan pasokan melimpah batu bara, terlebih jika kebijakan pengurangan impor China terus berlanjut. “Takutnya Tiongkok mengurangi impor di kuartal empat,” kata Hendra.(RI)