JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan pengelolaan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), sebagai limbah B3 dan limbah nonB3 yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, tetap memiliki kewajiban untuk dikelola hingga memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan.

Saat ini KLHK tengah menyelesaikan Peraturan Menteri (Permen) LHK tentang pengaturan limbah non B3 dengan beberapa poin penting.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian LHK, mengungkapkan poin pertama adalah terkait dengan ruang lingkup pengaturan yang meliputi pengurangan limbah nonB3 baik sebelum dan/atau setelah limbah dihasilkan; penyimpanan limbah nonB3 yang disesuaikan dengan jumlah dan bentuk limbah serta tidak boleh melebihi kapasitas penyimpanan; pemanfaatan limbah nonB3 sebagai substitusi bahan baku, substitusi sumber energi, produk samping merujuk standar yang ada atau standar baru yang direkomendasikan KLHK; penimbunan limbah nonB3 dengan memenuhi standar lokasi baik dengan melakukan modifikasi engineering dan memenuhi stadar fasilitas penimbunan; penganggulangan pencemaran lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan fungsi lingkungan hidup; dan pelaporan kegiatan pengelolaan limbah nonB3.

“Poin selanjutnya adalah tentang rencana pengelolaan limbah nonB3 yang meliputi limbah nonB3 khusus merujuk dalam persetujuan lingkungan; limbah nonB3 terdaftar wajib tercantum rinci dalam persetujuan lingkungan; dan pengelolaan limbah nonB3 tidak memerlukan persetujuan teknis,” ungkap Vivien, Senin (15/3).

Poin lainnya mengatur bahwa limbah nonB3 dilarang melakukan dumping atau pembuangan Limbah nonB3 tanpa persetujuan dari pemerintah pusat; pembakaran secara terbuka atau open burning; pencampuran Limbah nonB3 dengan B3 dan/atau limbah B3; dan penimbunan limbah nonB3 di fasilitas tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa hasil uji karakteristik beracun TCLP dan LD-50 menunjukkan bahwa FABA yang dihasilkan PLTU memiliki konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari yang dipersyaratkan pada PP 22 /2021. Hasil uji kandungan radionuklida FABA PLTU juga menunjukkan masih di bawah yang dipersyaratkan.

Rida mengatakan bahwa Negara Amerika Serikat, Australia, Kanada, Eropa, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, dan di 3 (tiga) negara dengan tujuan ekspor batubara Indonesia terbesar, yaitu China, India dan Korea Selatan, tidak mengkategorikan FABA sebagai limbah B3 melainkan sebagai limbah padat (China dan India), dan sebagai specified by-product (Korea Selatan). FABA secara luas telah banyak dimanfaatkan sebagai material pendukung pada sektor infrastruktur, stabilisasi lahan, reklamasi pada lahan bekas tambang, dan sektor pertanian.

“Pemerintah dan pelaku usaha pembangkit listrik berkomitmen untuk tetap melakukan pengelolaan FABA dengan prinsip berwawasan lingkungan, yang dibuktikan dengan penyusunan SOP Pengelolaan FABA yang diacu oleh seluruh PLTU,” kata Rida.

Ridwan Jamaludin, Direktur Jendeal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menambahkan bahwa secara nasional kebijakan pemanfaatan batubara adalah sebagai energi dengan memberikan nilai tambah.

Kedepannya, hasil limbah abu batubara atau FABA akan semakin dimanfaatkan menjadi produk-produk yang ramah lingkungan. Hal tersebut adalah bukti, bahwa pemerintah sedang berusaha keras untuk memanfaatkan nilai tambah dari hasil pembakaran batubara menjadi produk yang bermanfaat dan ramah lingkungan.

“Kabijakan saat ini dalam pemanfaatan batubara secara hukum adalah hilirisasi atau nilai tambah, kami melihatnya sebagai perubahan tata kelola, bukan sekedar mengubah dari limbah B3 saja, namun yang kita lihat adalah bisa digunakan untuk apa,” ujar Ridwan.

Ridwan memberi contoh, FABA memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku, yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal Ciraiating Fluidized Bed (CFB) dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan (penjelasan pasal 459, PP 22/2021). Pemanfaatan FABA sebagai roadbase dapat menyerap 94% dari total abu batubara (PT AMNT). FABA berpotensi digunakan bahan baku pembuatan refraktori cor, penimbunan dalam reklamasi tambang, substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang, memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM).

Sebagai informasi, Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian menyatakan, aplikasi FABA dapat meningkatkan efisiensi pemupukan serta memperbaiki lingkungan perakaran tanaman. FABA juga dapat dimanfaatkan sebagai backfilling atau batuan penutup untuk pencegahan air asam tambang (perusahaan pertambangan).

“LIPI, JICA dan Hakko bekerja sama memproduksi beton ramah lingkungan menggunakan bahan baku FABA,” kata Ridwan.(RA)