JAKARTA – Tren global menunjukkan bahwa pembangkitan biaya listrik (levelized cost of electricity/LCOE) untuk energi terbarukan seperti surya mengalami penurunan drastis dan semakin kompetitif dengan pembangkitan listrik konvensional. LCOE surya global sudah mencapai US$32-US$44/MWh, sedangkan energi nuklir di kisaran US$118-US$198/MWh, seperti dikutip dari Lazard pada 2019.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan LCOE energi terbarukan di Indonesia juga turun. Berdasarkan analisa IESR, biaya pembangkitan listrik surya skala besar dapat mencapai US$58,4/MWh (batas bawah), hampir menyamai PLTU supercritical (US$57,7 MWh), PLTU ultra supercritical (US$ 58,3), dan PLTU mulut tambang US$50,1/MWh.

“LCOE akan terus turun dengan perbaikan kerangka kebijakan dan regulasi, termasuk insentif untuk menghilangkan market barrier seperti feed-in-tariff dan penggunaan skema lelang terbalik yang didesain dengan baik,” kata Marlistya dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (11/3).

Dalam lima tahun terakhir kapasitas pembangkit listrik Indonesia mengalami kenaikan hampir menjadi 69,6 GW dari 54,7 GW, dengan porsi pembangkit yang menggunakan EBT saat ini berada di sekitar angka 10,3 GW atau sekitar 14,8 %. PLTU masih mendominasi kapasitas pembangkit nasional saat ini, yaitu sebesar 34,7 GW atau 49,9%, disusul dengan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG/GU/MG) sebesar 19,9 GW atau sekitar 28,6%, pembangkit berbasis EBT sebesar 10,3 GW atau 14,8% serta PLTD sebesar 4,6 GW atau 6,7%.

Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit tenaga listrik mencapai 27,28 GW dalam lima tahun ke depan. Ini berarti total kapasitas pembangkit listrik Indonesia hingga 2024 mencapai 96,98 GW terdiri dari pembangkit fosil sebesar 18,28 GW (67,0%) dan pembangkit EBT sebesar 9,05 GW (33,0%).

“Dengan potensi energi surya yang berlimpah, mencapai 655 GWp untuk bangunan residensial saja, sifatnya yang modular dan mudah dibangun di beragam lokasi, surya akan menjadi ujung tombak transisi energi di Indonesia,” tandas Marlistya.(RA)