JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mewacanakan ekspor untuk produksi gas dari blok-blok gas baru. Namun hal itu tidak serta merta bisa mulus berjalan.

Salis S Aprilian, praktisi migas yang juga mantan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan PT Badak NGL, mengungkapkan ada beberapa tantangan yang tetap akan ditemui kontraktor jika diberikan kesempatan untuk ekspor gas bagiannya seperti yang diwacanakan SKK Migas.

“Kalau gas mau diekspor, tentu harus ada fasilitas pipa antar negara dan/atau kilang LNG atau CNG, pengapalan, dan seterusnya. Menjual gas harus ada kontrak komersial jangka menengah atau panjang. Meski sekarang memungkinkan untuk dijual “spot”, tapi ketidakpastian harga akan lebih merugikan produsen,” kata Salis kepada Dunia Energi, Jumat (20/5).

Dia mengakui serapan gas dalam negeri memang tidak seperti yang diharapkan. Biang keladinya jelas di infrastruktur yang belum mumpuni. Selain itu masalah harga gas juga tetap jadi faktor utama serapan gas dalam negeri tidak menunjukkan peningkatan.

“Ketidakmampuan domestik dalam menyerap produksi gas nasional, menurut saya, lebih kepada infrastruktur gas yang belum siap “end-to-end”. Terutama masih berkutat dengan struktur harga gas itu sendiri. Pembeli gas maunya harga rendah di ‘flange gate’ mereka,” ungkap Salis.

Produsen gas tentu berharap harga gas disesuaikan dengan harga internasional (terkoreksi harga minyak). Sedangkan pelaku usaha pemilik pipa (midstream) harapannya ada margin yang cukup untuk operasioanalnya, karena mereka juga harus menutup modal atau nilai uang dari pinjaman saat membangun pipa tersebut.

“Ingin nya mereka juga bisa membangun lagi jalur pipa baru yang lain, sementara harga besi baja semakin naik tanpa kepastian,” ujar Salis.

Selain itu, gas juga masih harus bersaing dengan bahan baku lainnya. Selama ini pengguna gas utama domestik adalah industri dan PLN untuk pembangkit listrik. Tapi kedua sektor tersebut tidak maksimal menyerap gas karena masih ada pilihan atau alternatif energi lain yang lebih murah.

“Selama PLN dan industri lain masih mendapatkan subsidi dan kemudahan memperoleh bahan bakar lain yang lebih pasti dan (apalagi) murah dibanding gas alam, selama itu juga kita tidak dapat mengoptimalkan penggunaan gas di dalam negeri” jelas Salis.

Dia menilai penetrasi yang dilakukan pemerintah seperti sekarang dengan mengatur harga gas sudah tepat. Hanya saja perlu ada peningkatan dari sisi mekanisme pengawasan bagi para pengguna gas. Kenyataan bahwa pertumbuhan konsumsi gas ternyata hanya 1% per tahun seperti yang ditemukan oleh SKK Migas tentu harus jadi pelecut bagi pemerintah untuk meningkatkan pengawasan para pengguna gas yang alokasinya sudah diatur juga oleh pemerintah.

Dengan sistem yang sudah canggih sekarang ini, semuanya itu mudah dilacak. Dan harusnya yang digenjot aktivitas di hilir dulu. Pasti akan merembet ke hulu.

“Solusinya, sudah benar adanya pengaturan harga gas dalam negeri. Hanya perlu pengawasan terhadap pertumbuhan industri di hilir. Apa benar bahwa “pengorbanan” penurunan harga gas yg dilakukan para produsen gas sudah mampu menumbuhkan industri hilir? Kalo kenaikannya hanya 1%, sudah pasti tidak ada (sedikit sekali ada) pertumbuhan industri di hilir yang menggunakan gas. Nah, apakah mereka masih menggunakan batubara atau BBM bersubsidi?” jelas Salis. (RI)