JAKARTA – Jabatan direktur utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, Subholding Power and New Renewable Energy (NRE), hingga 2 Februari 2021 belum juga diisi. Hal ini terjadi karena Ali Mundakir, Direktur Utama PGE sebelumnya, pada 8 Juli 2020 ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Elnusa Tbk (ELSA), emiten jasa energi terintegrasi, menggantikan Elizar Parlindungan Hasibuan.

Hingga saat ini, PT Pertamina (Persero) belum juga menetapkan pengganti Ali. Padahal, posisi PGE sangat strategis karena perusahaan menjadi kontributor utama pendapatan dan juga laba bersih bagi Subholding Power and NRE.

Berdasarkan laporan keuangan Pertamina 2019, PGE tercatat membukukan laba bersih pada 2019 sebesar US$ 95,56 juta, turun dibandingkan raihan net profit pada periode setahun sebelumnya yang mencapai US$ 107,32 juta. Padahal, pendapatan operasi naik dari US$ 660,83 juta menjadi US$ 666,88 juta. Demikian pun aset perusahaan juga naik, kendati tipis dari US$ 2,55 miliar menjadi US$ 2,57 miliar pada 2019.

Koeshartanto, Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) Pertamina, mengaku penetapan dirut PGE masih dalam proses. Dia memastikan sistem serta operasional PGE berjalan normal kendati tanpa dirut definitif.

“(Dirut PGE) Sedang berproses lagi proses diskusi untuk cari terbaik,” kata Koeshartanto kepada Dunia Energi, belum lama ini.

Mindaryoko, Sekretaris Perusahaan PGE, mengatakan saat ini posisi dirut PGE kosong. Dua direktur PGE secara berglir menjadi pelaksana tugas harian dirut. “Kapan akan ditunjuk dirut definitifnya, saya tak punya informasi,” ujar Mindaryoko kepada Dunia Energi, Selasa (2/2).

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, kondisi kosongnya dirut PGE yang posisinya sangat vital hingga saat mencerminkan seberapa serius Pertamina dalam bisnis power atau listrik.  “Menurut saya PGE penting dalam bisnis Pertamina di masa depan,” katanya saat dihubungi Dunia Energi.

Dia menilai tren transisi energi yang terjadi saat ini sudah sangat jelas terlihat membuat posisi PGE sekarang sangat strategis. “Tren transisi energi akan memberikan posisi untuk NRE termasuk panas bumi yang menjadi inti bisnis PGE menjadi sangat strategis. Tren energi bersih harus diantisipasi oleh Pertamina,” ungkap Komaidi.

Komaidi menilai belum ditetapkannya dirut definitif PHE erat kaitanya dengan transformasi holding dan subholding. Dia menyayangkan hingga kini belum ada direktur utama definitif karena tentu keputusan strategis dari seorang direktur utama sangat diperlukan.

“Jika tidak ada dirut definitif akan berpengaruh pada tidak segera diambilnya sebuah keputusan strategis jika diperlukan,” kata Komaidi.

Panas bumi menjadi salah satu pilar utama transisi bisnis energi Pertamina di masa depan. Manajemen mematok target total kapasitas terpasang di own operation mencapai 1.112 Megawatt (MW) pada 2026 dengan komitmen total investasi sebesar US$2,68 miliar. Hingga kini total kapasitas terpasang baru mencapai 672 MW dari 12 wilayah kerja panas bumi (WKP) yang tersebar di Jawa Barat, Bali, Sulawesi Utara, Bengkulu, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan. Jumlah tersebut masih akan terus ditingkatkan seiring dengan peningkatan permintaan energi panas bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang ramah lingkungan.

Potensi sumber daya energi dari panas bumi Indonesia mencapai sekitar 25 GW yang tersebar di 349 titik. Dari total potensi tersebut, total kapasitas terpasang mencapai 2.132 MW dan sebanyak 15.128 MW di antaranya teridentifikasi sebagai cadangan potensial yang siap untuk dikembangkan. [

Ketersediaan panas bumi menjadi alternatif energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Secara khusus, kegiatan usaha Perseroan memanfaatkan panas bumi untuk diubah menjadi uap dan listrik yang akan digunakan untuk pembangkit listrik trenaga panas bumi (PLTP). Pengelolaan panas bumi tersebut dilakukan melalui dua cara, yaitu dioperasikan sendiri atau sesuai Kontrak Operasi Bersama (KOB).

Saat ini, PGE PGE mengelola enam wilayah kerja, yaitu PLTP Sibayak (10 MW) ; Kamojang dua PLTP, masing-masing berkapasitas 65 MW dan 35 MW).  Di luar itu, PGE Area Kamojang juga menjual uap total 140 MW ke PLN. PGE Area Lahendong memiliki dua PLTP, yaitu masing-masing 20 MW dan menjual uap 80 MW. Di Wilayah Kerja Ulubelu di Gunung Way Panas, Lampung ada dua pembangkit masing masing 55 MW dan penjualan uap 110 MW. Karaha Bodas memilik PLTP berkapasitas 30 MW. Dan di Lumut Balai, Sumatera Selatan sebanyak 55 MW.

PGE juga ada pengelolaan berdasarkan kontrak operasi bersama,  yaitu Gunung Salak 377 MW, Darajat 271 MW, Wayang Windu 227 MW, dan Sarulla 330 MW. Plus Bedulug Bali yang dalam pengembangan. (RI/DR)