JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) meyakini Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar melakukan dekarbonisasi pada 2050. Hal ini tentunya berbeda dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Leaders Summit on Climate yang tidak menetapkan kapan emisi Indonesia akan mencapai puncak dan menuju netral karbon sesuai dengan Persetujuan Paris.

IESR mendorong pemerintah untuk menyikapi persoalan krisis iklim ini sebagai masalah yang urgent dan mengancam kehidupan bangsa, sebab secara frekuensi, bencana alam hidrometeorologi terjadi semakin sering di Indonesia dan membawa banyak kerugian.

Berdasarkan data BNPB, hingga 27 April 2021, lebih dari lima juta orang terdampak dari bencana alam yang 98% merupakan bencana hidrometeorologi.

Jika dibandingkan lima tahun yang lalu (2010-2015), maka dalam kurun waktu 2016-2020 terjadi peningkatan bencana alam sebesar 43%.

Masyarakat internasional mengharapkan Indonesia bisa memiliki aksi mitigasi iklim yang lebih ambisius dan menjadi bagian upaya global menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius sesuai dengan target Persetujuan Paris.

Pemerintah sudah menyiapkan strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon dan berketahanan Iklim Long term Strategy-Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR) sebagai pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun target untuk net-zero di 2070 terlambat 20 tahun dari target Persetujuan Paris yang telah diratifikasi dengan UU No. 16/2016.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan kajian Bappenas menunjukkan bahwa dekarbonisasi sebelum 2070 lebih menjamin pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas dan memberikan lebih banyak peluang Indonesia untuk lepas dari middle income trap.

“Kajian IESR juga menunjukan bahwa dekarbonisasi sistem energi dengan 100% energi terbarukan akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru,” ujar Fabby dalam seminar daring berjudul “Pertumbuhan Rendah Karbon yang Berkualitas dan Peluang Indonesia untuk Mencapai Netral
Karbon Sebelum 2070”,” Rabu (28/4).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam dokumen Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) mengungkapkan dengan menggunakan
skenario paling ambisius low carbon compatible with Paris Agreement (LCCP) Indonesia akan mencapai emisi puncak (peaking) pada tahun 2030 dengan net-sink (jumlah emisi karbon yang diserap lebih banyak daripada jumlah karbon yang dikeluarkan) di sektor FOLU (sektor kehutanan dan lahan lainnya).

Namun LTS-LCCR menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai net zero emission pada tahun 2070 dengan dasar rasionalisasi mengacu pada kondisi perekonomian dan kondisi global serta turunnya kapasitas adaptasi dan mitigasi.
Sayangnya, pada skenario tersebut
tidak disebutkan target yang lebih spesifik untuk sektor energi.

PPN/Bappenas menyampaikan rancangan transformasi ekonomi rendah karbon dengan empat skenario yaitu emisi netral karbon tahun 2045, 2050, 2060, dan 2070. Selain itu, rancangan tersebut menggambarkan sektor energi akan mengalami puncak emisi (peak emission) pada 2027 untuk mencapai netral karbon di tahun 2045 dan 2050, dan puncak emisi di tahun 2029 untuk netral karbon di tahun 2060 dan 2070.

Pada sektor lahan, melalui kebijakan reforestasi dan restorasi lahan gambut, Indonesia akan mencapai net sink pada pada 2039-2040 dengan skenario netral karbon pada 2045 dan 2050. Melihat dari skenario tersebut, Kementerian PPN menyatakan semakin cepat Indonesia mencapai emisi nol bersih, maka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) serta nilai PDB per kapita akan jauh lebih tinggi.

Lisa Wijayani, Manager Program Energi
Hijau IESR, mengatakan bahwa target pencapaian netral karbon yang ambisius pada skenario netral karbon yang dibuat oleh Bapennas tidak tercermin pada dokumen perencanaan jangka panjang Indonesia untuk mendukung iklim yang lebih baik (LTS-LCCR).

“Padahal ini penting sebab dokumen LTS LCCR yang akan disampaikan ke UNFCCC menunjukkan komitmen nyata Indonesia pada Persetujuan Paris dalam mendukung pembangunan rendah karbon,” ujarnya.

IESR optimistis, bila sistem energi sebagai salah satu sumber emisi utama di Indonesia, melakukan transformasi maka Indonesia akan mampu mencapai netral karbon pada 2050. IESR menggunakan Skenario Kebijakan Terbaik (Best Policy Scenario) yang menjabarkan tiga tahap pengurangan emisi dalam sistem energi, yakni pertama, pada tahun 2030 membengkokkan kurva emisi gas rumah kaca dan memuncaknya emisi.

Menurut Lisa, keterlambatan puncak emisi akan menyebabkan upaya yang dibutuhkan untuk bertransformasi akan lebih drastis dan mahal. Kedua, pada 2045 menghapus sebagian besar emisi melalui transformasi sistem energi dengan menggunakan 100% energi terbarukan.
Hasil kajian IESR menunjukkan secara teknis dan ekonomis, Indonesia dapat
sepenuhnya menggunakan energi terbarukan.

Ketiga, pada 2050 tercapai nol emisi melalui peningkatan produksi bahan bakar sintetis hijau dan penghapusan emisi sisa di sektor industri.

Kajian IESR juga menunjukkan bahwa dekarbonisasi sektor energi akan membawa peluang yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia.

“Pengembangan 100 % energi terbarukan dalam sistem energi (sektor kelistrikan, transportasi, uap proses) akan menumbuhkan perekonomian,” ujar Fabby.(RA)