JAKARTA – Pemerintah memproyeksikan jumlah cost recovery atau biaya pengembalian yang harus dibayarkan pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sepanjang tahun ini mencapai US$11,46 miliar, melampaui anggaran yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar US$10,22 miliar. Hingga Mei, cost recovery telah mencapai US$4,05 miliar.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan jika  terpaksa membengkak, cost recovery tidak akan besar dan dijaga tidak akan lebih dari 10% dari alokasi anggaran APBN.

Meski tidak merinci secara detail tapi jumlah biaya yang diperlukan untuk mengelola sumur-sumur yang sekarang menopang produksi migas Indonesia memang tidak sedikit. Apalagi kondisi sumur juga sudah sangat tua dan telah memasuki fase penurunan produksi.

“Cost kan harus dibawah. Nah, jadi kayak proyek, kalau sampai ada over run, kalau diatas 10%, maka perlu izin. Gap itu jangan over dari 10%. Jadi itu masih still good,” kata Dwi ditemui di Gedung DPR Jakarta, Kamis malam (20/6).

Jika dilihat dari perbandingan antara proyeksi dengan target APBN memang terjadi pembengkakan cost recovery. Namun jika dilihat dan dibandingkan dengan tahun lalu maka proyeksi nilai cost recovery sampai akhir tahun mengalami penurunan. Realisasi cost recovery pada tahun lalu mencapai US$12,1 miliar.

“Tahun ini dijaga supaya akhir tahun ini  enggak sampai US$11,46 miliar. Ya kami jaga supaya gap-nya tidak lebih dari 10% dari apa yang ditargetkan APBN 2019. Tapi itu pun sudah dibawah 2018,” ujarnya.

Sayang pembengkakan cost recovery tidak diikuti dengan peningkatan lifting, baik minyak maupun gas. Hingga akhir 2019 rata-rata lifting minyak dipatok sebesar 754 ribu barel per hari (BPH), dibawah target APBN 2019 sebesar 775 ribu bph. Proyeksi tahun ini pun lebih kecil dari realisasi tahun lalu sebesar 778 ribu bph.

Lifting gas rata-rata akhir tahun sebesar 1.072 ribu barel ekuivalen per hari (BOEPD), dibawah target sebesar 1.250 BOEPD. Itu pun masih lebih rendah dibanding 2018 sebesar 1.149 ribu BOEPD.

Menurut Dwi, SKK Migas sudah berupaya mendorong KKKS untuk meningkatkan produksi. Misalnya di Blok Cepu yang ditargetkan mencapai rata-rata 225 ribu bph.

“Minyak turun tidak bisa dihindari. Tapi total kan naik equivalen, karena gas naik. Kita di Indonesia tidak ada cerita. In the end, cost equivalent yang harus diturunkan. Iyalah (yang lain turunnya jauh) Rokan turun, Mahakam turun. Tidak ngejar lah sama yang naik-naik (produksi),” kata Dwi.(RI)