JAKARTA – Pemerintah mempublikasikan draft dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) dalam kerja sama transisi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) untuk konsultasi publik, Rabu (1/11).

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat perubahan yang patut diapresiasi dalam dokumen CIPP tersebut, khususnya peningkatan signifikan target bauran energi terbarukan sekitar 44% di  2030, lebih tinggi dari 34% di joint statement JETP pada tahun lalu. Namun, CIPP ini memuat penetapan pencapaian target nir emisi karbon (net zero emissions, NZE) di sektor ketenagalistrikan pada 2050. Hal ini belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit fosil pada 2040.

Tidak hanya itu, target penurunan emisi hanya difokuskan pada emisi pembangkit listrik pada jaringan PT PLN (Persero) saja, dan bukan pada emisi sektor kelistrikan secara menyeluruh, yang mencapai 250 juta ton CO2 ekuivalen di tahun 2030. Angka ini belum termasuk target pengurangan emisi dari pembangkit untuk kebutuhan sendiri (captive power). Jika dikombinasikan, maka target puncak emisi total menjadi jauh lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada saat negosiasi JETP tahun lalu. Selain itu, rencana pengakhiran operasional PLTU batubara dengan total kapasitas 5 GW yang ada di draf sebelumnya dihapuskan karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari IPG.

IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target net-zero di 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah 2030. Dalam skenario JETP sekarang, penurunan emisi didapatkan dengan penurunan utilisasi PLTU batubara. Sehingga, pencapaian target baru 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dapat tercapai apabila adanya peningkatan fleksibilitas operasi PLTU batubara PLN, dan tinjauan kontrak PLTU batubara swasta, serta dukungan regulasi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Adapun rencana pembangunan energi terbarukan yang memberikan porsi besar pada PLTP dan PLTA karena menyesuaikan prioritas PLN, dapat menjadi risiko dalam mencapai target tersebut, mengingat masa pengembangan proyek PLTP yang mencapai 8 hingga 12 tahun, dan PLTA yang bisa mencapai 6-10 tahun.

“Dihapuskannya rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batubara sebelum 2030 karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement. Berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai target puncak emisi sebelumnya sebesar 290 juta ton CO2, perlu mengakhiri 8,6 GW PLTU di jaringan listrik PLN pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dilakukan dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi blended finance (pendanaan campuran) dengan skema matching fund (dana padanan) di mana pendanaan pensiun dini PLTU berasal dari tambahan dana di atas komitmen IPG dan disamakan dengan dana dari sumber APBN serta sumber lainnya,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR .

IESR juga menyoroti dokumen CIPP yang belum mempertimbangankan pengakhiran operasional PLTU captive yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN.

“Tantangan PLTU captive memang beragam tergantung dari industri yang disuplai. Namun, sudah ada dasar Peraturan Presiden 112/2022 yang mewajibkan pengurangan emisi sebesar 35% dan pengakhiran operasi maksimal 2050. Sehingga strategi pengurangan emisi maupun pengakhiran operasi lebih awal untuk PLTU captive dan untuk wilayah usaha lainnya perlu segera ditinjau,” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.

Reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan menjadi hal krusial dalam mengimplementasikan CIPP yang membidik target 44% bauran energi terbarukan pada 2030. Kapasitas energi terbarukan Indonesia sebesar 12,6 GW, perlu ditambah sebesar 62 GW sehingga mencapai sekitar 75 GW kapasitas energi terbarukan di tahun 2030.

“Proses pengadaan pembangkit energi terbarukan masih terkendala di beberapa hal. Acapkali hal ini terbentur dengan persiapan proyek, termasuk di dalamnya studi konektivitas jaringan, akuisisi lahan, dan penyelesaian izin-izin terkait sebelum proses lelang. Di Indonesia, hal ini masih menjadi tanggungan di pengembang, membuat prospek investasi terbarukan hanya bisa terjamah oleh ‘pemain-pemain’ tertentu saja. Reformasi kebijakan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kemudahan di dalam proses pengadaan pembangkit energi terbarukan mutlak diperlukan jika nantinya target ekspansi kapasitas ingin tercapai,” kata Raditya Wiranegara, Analis Senior IESR.

Upaya penurunan emisi yang tercantum pada dokumen CIPP ini perlu pula menekankan aspek keadilan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Berdasarkan berbagai kajian IESR tentang mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batubara, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan transisi energi serta melakukan diversifikasi ekonomi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.(RA)