JAKARTA – Manaemen PT Pertamina (Persero) optimistis dan tetap konsisten menjaga operasional perusahaan hingga akhi tahun ini meskipun sejak Januai hingga Juni ini kinerja keuangan mengalami pukulan telak sehingga menderita kerugian.

Fajriyah Usman, VP Corporate Communication Pertamina, menjelaskan sepanjang semester 1 2020 Pertamina menghadapi triple shock yakni penurunan harga minyak mentah dunia, penurunan konsumsi BBM di dalam negeri serta pergerakan nilai tukar dollar yang berdampak pada rupiah sehingga terjadi selisih kurs yang cukup signifikan.

“Pandemic Covid 19, dampaknya sangat signifikan bagi Pertamina. Dengan penurunan demand, depresiasi rupiah, dan juga crude price yang berfluktuasi yang sangat tajam membuat kinerja keuangan kita sangat terdampak,”kata Fajriyah, Senin (24/8).

Menurut dia, penurunan demand tersebut terlihat pada konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117 ribu kilo liter (KL) per hari atau turun 13% dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tercatat 135 ribu KL per hari. Bahkan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota besar terjadi penurunan demand mencapai 50%-60%.

“Namun, Pertamina optimis sampai akhir tahun akan ada pergerakan positif sehingga diproyeksikan laba juga akan positif, mengingat perlahan harga minyak dunia sudah mulai naik dan juga konsumsi BBM baik industri maupun retail juga semakin meningkat,’ ujar Fajriyah.

Sejalan dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), konsumsi BBM dalam negeri telah meningkat, dari sebelumnya diprediksikan penurunan  20%, kini penurunannya menjadi hanya sekitar 12%.

“Peningkatan konsumsi BBM yang signifikan menunjukkan ekonomi nasional yang terus tumbuh di berbagai sektor, karena itu Pertamina optimis kinerja akhir 2020 tetap akan positif,” kata Fajriyah.

Fajriyah menambahkan, optimisme Pertamina untuk mencapai kinerja positif di akhir tahun juga terlihat dari keberhasilan pencapaian kinerja positif pada laba operasi Juni 2020 sebesar US$443 juta dan EBITDA sebesar US$ 2,61 miliar.

Untuk itu, lanjut Fajriyah, Pertamina telah melakukan sejumlah inisiatif untuk perbaikan internal dengan tetap melakukan penghematan sampai 30%. Tak hanya itu, Pertamina juga melakukan skala prioritas rencana investasi, renegosiasi kontrak eksisting serta refinancing untuk mendapatkan biaya bunga yang lebih kompetitif.

“Pertamina juga terus meningkatkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) sehingga menurunkan tekanan kurs dan bisa menekan biaya secara umum,” ujar Fajriyah.

Menurut Fajriyah, kendati perusahaan mengalami rugi bersih pada semester 1 2020 dibandingan dengan periode yang sama tahun lalu, Pertamina tetap memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat agar pergerakan ekonomi nasional tetap terjaga.

“Meski demand turun, seluruh proses bisnis Pertamina berjalan dengan normal. SPBU tetap beroperasi, pendistribusian BBM dan LPG juga tetap terjaga baik, kami memprioritaskan ketersediaan energi bagi rakyat,” tegas Fajriyah.

Pertamina membukukan rugi bersih sebesar US$767,92 juta sepanjang semester I 2020 atau turun drastis dari laba US$ 659,96 juta yang diraih pada periode sama 2019. Ini pertama kalinya Pertamina mencatatkan rugi bersih di era pemerintahan Joko Widodo.

Penurunan laba tersebut lantaran pendapatan perusahaan juga berkurang dari US$ 25,55 miliar menjadi US$ 20,48 miliar. Kecuali itu, beban produksi hulu dan lifting juga naik dari US$ 2,38 miliar pada periode Januari-Juni 2019 menjadi US$ 2,43 miliar pada Januari-Juni 2020. Belum lagi beban dari aktivitas operasi lainna yang melonjak dari US$ 803,7 juta menjadi US$ 960,98 juta pada semester I 2020.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute menjelaskan apa yang dialami Pertamina sebenarnya juga dirasakan perusahaan-perusahaan lain di dunia. Dampak pandemi kata dia memang sangat signifikan terhadap perusahaan seperti Pertamina.

Dia pun memprediksi untuk semester II ini memang ada perbaikan terutama dari sisi permintaan di sisi hilir seiring dengan mulai meningkatnya optmisme kehadiran vaksin Covid-19. Tapi menurut dia hal itu tidak serta merta mendongkrak keuangan secara signifikan.

“Mungkin ada peningkatan kinerja tapi tidak sampai langsung berbalik, kemungkinan ada perbaikian dari sisi berkurangnya kerugian,” kata Komaidi. (RI)