JAKARTA – Ekosistem pesisir di Indonesia terutama mangrove, padang lamun dan kawasan rawa payau diyakini memiliki potensi cadangan karbon biru yang sangat besar, yakni aebagai penyerap serta penyimpan karbon alami yang kapasitasnya melebihi hutan tropis daratan.

Karbon biru merupakan istilah yang dipakai untuk karbon yang terasingkan, disimpan atau dihasilkan ekosistem laut dan pesisir, termasuk hutan mangrove, lamun dan rawa pasang surut. Sejumlah ekosistem tersebut menyimpan sebagian besar karbon di dalam tanah dan mampu mengubur karbon atmosfer sepuluh kali lipat lebih besar per hektar per tahunnya dibandingkan lahan lain.

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, menyampaikan bahwa Indonesia memiliki basis sumber daya alam dan potensi karbon biru yang sangat kaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini didukung oleh fakta bahwa wilayah Indonesia meliputi lebih dari 60 persen dari total wilayah Coral Triangle dunia, yang terutama didominasi oleh bagian timur Indonesia. Pemerintah saat ini sudah melakukan rehabilitasi mangrove sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Dunia sedang mengalami akselerasi perubahan iklim, dan perekonomian dunia akan menyesuaikan dengan tantangan tersebut. Dengan potensi ekonomi dan ekologi yang sangat besar, kita harus mengatur mindset bahwa Indonesia merupakan negara climate super power,” ujar Sarwono, dalam Diskusi Pojok Iklim bertema “Strategi Pengelolaan Karbon Biru di Indonesia”, baru-baru ini.

Syaiful Anwar, Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring Pelaporan Verifikasi Ditjen PPI KLHK, menyampaikan bahwa karbon biru atau coastal wetland perlu menjadi pertimbangan dalam menghitung keluaran dan serapan emisi GRK Indonesia. Untuk membangun mutual trust dan confidence sebagaimana dalam mekanisme Enhanced Transparency Framework, negara-negara diminta untuk menyampaikan laporan inventarisasi emisi GRK nasional sesuai pedoman dari IPCC. Dalam hal ini, mangrove yang diinventarisasi tidak hanya hutan mangrove saja, tapi juga mangrove di lahan yang tidak berhutan.

“Mulai 2021, carbon pool mangrove akan ditambah dengan tanah mangrove, karena mangrove sebagai vegetasi pesisir mampu menyimpan karbon dalam tanah hingga 78 persen. Kalau mangrove tidak di konservasi dan malah dikonversi, akibatnya mangrove dapat menjadi emitter (GRK),” ungkap Syaiful.

Sementara itu Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, mengungkapkan bahwa sampah merupakan salah satu predator bagi ekosistem pesisir di Indonesia. Timbulan sampah di lautan berasal dari kebocoran sampah dari daratan ke perairan serta aktivitas di lautan. Saat ini, Indonesia sedang mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang penanganan sampah laut, bahwa Indonesia akan menurunkan sampah laut sebesar 70% pada 2025. Rencana aksi yang dilakukan meliputi lima kelompok kerja yang terintegrasi dengan berbagai lembaga.

“Hingga tahun 2020, dapat kita pastikan terjadi penurunan sampah laut sebesar 15,30 persen, sehingga ini menunjukkan adanya upaya dan masifnya gerakan untuk memastikan sumberdaya karbon biru terjaga dengan baik. Potensi untuk menjadi negara super power dengan tiga hamparan mangrove, lamun, dan terumbu karang akan sia-sia jika kita tidak menangani persoalan sampah laut,” ujar Novrizal.

Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP, menambahkan bahwa ekosistem karbon biru berpotensi menyerap 50 persen karbon yang ada di atmosfer. Perluasan kawasan konservasi perairan dengan target 32,5 juta hektare di tahun 2030, ditargetkan setidaknya 20 juta hektare yang dikelola dengan baik sehingga ekosistem mangrove dan lamun dapat berfungsi secara optimal. Saat ini setidaknya 92,73 persen ekosistem lamun sudah masuk ke dalam kawasan konservasi. Penetapan kawasan konservasi sebagai legal basis yang kuat membutuhkan pengelola, SDM, dan anggaran.

“Diperlukan pengawalan dari pusat sehingga target konservasi sama-sama dapat dicapai antara pusat dan daerah. Inovasi, kolaborasi, penyadartahuan menjadi poin penting dalam usaha konservasi ini,” kata Andi.

Nur Hygiawati Rahayu, Direktur Kehutanan dan Sumber Daya Air, Kementerian PPN/BAPPENAS, menjelaskan bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, perubahan iklim masuk ke dalam Prioritas Nasional 6 dengan program prioritas yaitu pembangunan rendah karbon dan peningkatan ketahanan bencana dan iklim. Proyek antarkementerian dan lembaga dalam hal ini antara lain rehabilitasi mangrove. Secara umum, tantangan tata kelola mangrove adalah degradasi ekosistem, kurangnya data dan metodologi terstandardisasi, serta kurangnya kapasitas teknis, koordinasi, pendanaan dan pilot project.

“Strategi pengelolaan lahan basah dapat dilakukan dengan memperkuat database, kolaborasi berbagai pihak, merancang strategi dan mengintregasikan peta jalan, serta mengkonsentrasikan pemberdayaan masyarakat dan penataan ruang,” ujar Nur.

Efransjah, Penasihat Senior Menteri LHK, berharap vegetasi mangrove dapat menyumbang angka pengurangan karbon. Segala strategi umum, instrumen hukum, dan pengelolaan dalam upaya menjaga kesehatan lahan basah serta pengelolaan sampah dengan demikian perlu fokus pada kontribusi aksi mitgasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Indonesia perlu mengetahui komunitas karbon biru yang dimiliki, salah satunya dengan inventarisasi GRK,” kata Efransjah.(RA)