JAKARTA – Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) meminta evaluasi harga gas menyeluruh, tidak hanya dilakukan di level downstream atau hilir, namun juga di level hulu atau upstream. Henry Achmad, Anggota Komite BPH Migas, mengatakan di level hilir evaluasi terhadap harga terus dilakukan, terutama pada toll fee. Ini sudah dibuktikan dengan beberapa amendemen Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang terjadi di beberapa ruas pipa.

“Jangan dicek di hilir saja. Hilir sudah kami lakukan (evaluasi) dan akan terus dilakukan. Barangkali di hulu ada juga yang perlu dikoreksi. karena saya tidak tahu kalau bicara hulu orang hulu lebih tahu,” kata Henry ditemui di Kantor BPH Migas Jakarta, Rabu (8/1).

Penurunan harga gas bagi industri dan pembangkit listrik kembali menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo menyatakan kegeramannya lantaran mendapatkan laporan tentang masih tingginya harga gas.

Menurut Henry, permasalahan harga gas harus dilihat secara menyeluruh dari hulu hingga hilir. Untuk hilir paling tidak ada komponen utama yang bisa dan  terus dievaluasi, yakni biaya transportasi atau toll fee. Toll fee sebenarnya sudah melalui kajian perhitungan yang disepakati semua pihak, baik BPH Migas maupun pelaku usaha pemilik infrastruktur gas.

Evaluasi secara periodik terhadap toll fee juga dilakukan, apalagi jika volume gas yang melalui suatu pipa bertambah maka berdasarkan bisnis yang adil toll fee dievaluasi.

“Kami lihat juga kalau toll fee sudah membentuk suatu angka tertentu, BPH Migas juga memberikan toll fee dengan mempertimbangkan, misalnya umurnya 10 tahun, enggak bisa juga. Kami pikir jauh lebih lagi untuk bisa menekan biaya atau toll fee yang ditetapkan. Jadi betul-betul kami sudah melihat dari sisi aspek ekonomi, keekonomiannya,” ungkap Henry.

Selain itu, jika yang disinggung industri yang sulit tumbuh dan bersaing, harga gas tidak bisa terus dijadikan sebagai kambing hitam. Industri juga harus bisa meningkatkan efisiensi dalam kegiatan operasionalnya. Apalagi jika berkaca dari negara-negara yang harga gasnya tidak lebih murah dari yang ada di Indonesia, tapi industrinya masih bisa kompetitif dan bisa bersaing.

“Saya juga kadang melihat di luar negeri, misalnya tempat ekspor gas di China-Korea Selatan. Dia (industri) menggunakan gas, harga pembelian mahal, tapi industri bisa berkompetesi. Jadi ini menurut saya hal ini kan tidak hanya bergantung kepada harga gas, tapi bagaimaan industirnya bisa berkompetisi dengan perusahan di luar negeri,” kata Henry.(RI)