JAKARTA – Panas bumi adalah salah satu energi yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan pembakaran bahan bakar (burning fuel) dan rendah karbon. Di antara energi yang dapat diperbarui (renewable energy) panas bumi memiliki sifat highly dispatchable (dapat langsung dikirim) sehingga bisa cepat untuk diransmisikan dan dapat memasok beban dasar yang stabil (stable basload supply).

“Cost competitive 20-30% karena tidak membutuhkan storage, seperti tenaga surya dan angin. Geothermal juga tidak bergantung pada raw material seperti minyak sehingga energy security geothermal sangat kuat,” kata Fernando Pasaribu, VP Reservoir PT Pertamina Geothermal Energy Tbk saat berbicara pada webinar DE Talk bertema “Energi Nasional Terus Melaju Untuk Indonesia Maju” yang digelar Dunia Energi, Selasa(15/8/2023). Dalam webinar yang diselenggarakan menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-78 ini, hadir pula EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN (Persero) Warsono, Vice President Pengembangan Energi PT Bukit Asam Tbk Julismi dan Tenaga Ahli Kepala SKK Migas Luky A. Yusgiantoro. Selain itu, ikut memberikan keynote speech Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya yang mewakili Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.

Fernando mengatakan PGE memiliki target kapasitas terpasang pembangkit listtrik panas bumi (PLTP) sebesar 1 Gigawatt (Gw) dalam dua tahun ke depan. “Kalau bisa mencapai lebih dari 1 GW, Indonesia bisa menjadi top 5 geothermal producing country,” ujarnya.

PGE saat ini memiliki 13 wilayah kerja panas bumi, termasuk tambahan penugasan di Kotamobagu, Sulawesi Utara. Total kapasitas produksi PGE sebesar 672 Megawatt (MW), dan potensi geothermal sekitar 710 MW.

Mengusung visi sebagai world class green energy company with largest geothermal capacity globaly, PGE menargetkan untuk menjadi perusahaan pengembang energi panas bumi terbesar di dunia.

“Kami juga punya visi creating value. Ada tiga strategi pilar kami, yaitu mengoptimalkan eksisting area, mengoptimalkan lapangan yang sudah ada, mengembangkan green field. Diluar itu, kami melakukan expand geothermal value chain. Artinya, kami mengekstrak secondary product dari geothermal seperti silika, green methanol, dan juga green hydrogen,” katanya.

Fernando mengatakan untuk menjadi world green energy company PGE juga perlu mendapatkan pinjaman dari competitive financing atau green financing. Selain itu, berusaha mendapatkan green strategy partnership.

“Strategi PGE ke depan, di Lumut Balai sudah mempunyai steam di power plant di unit 2 sekitar 55 MW. Di Hululais juga sudah mendapatkan steam di kepala sumur 110 MW. Kami extend untuk dapatkan new area atau greenfield dengan ikut lelang. PGE punya benefit karena punya competitive status untuk mendapatkan lelang,” ungkap Fernando.

PGE juga melakukan expand geothermal utilization , brand power, low pressure dan lainnya. Di samping pula melakukan strategi partnership untuk mendapatkan bisnis-bisnis ke depan.
Dalam upaya mendukung Net Zero Emission (NZE), kontribusi PGE didapatkan dari 5 lapangan, yaitu Lumut Balai, Lahendong, Ulubelu, Kamojang, serta Karaha. “Estimasi PGE untuk menyumbang emission reduction potensial 380juta ton CO2 reduction by 2060. Harapannya di 2027 bisa tambahkan plant additional 600 MW,” katanya.

Tantangan commercial bottle neck yang dihadapi saat ini di PGE, menurut Fernando, pada dasarnya perusahaan ingin ekstrak semua potensi geothermal. Artinya, PGE mengekstrak geothermal sebanyak mungkin sehingga dapat keekonomian yang lebih baik. “Otomatis akan dapat keuntungan besar,” kata Fernando.

Dalam kesempatan yang sama Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya, menyampaikan bahwa potensi energi baru terbarukan (EBT) di indonesia sangat besar hampir 360 GW. Namun sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat kecil.
Kementerian ESDM telah menyusun roadmap untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat, melalui strategi antara lain di sisi suplai dengan pengembangan EBT termasuk hidrogen dan nuklir, dan early retirement PLTU, CCS/CCUS.
“Dari sisi demand strateginya adalah pengembangan kendaraan listrik, kompor induksi, pengembangan jaringan gas rumah tangga, pemanfaatan biofuel, penerapan manajemen energi,” ujarnya.

Chrisnawan mengatakan demand listrik pada 2060 di prediksi mencapai 1.942 Terrawatt hour yang didominasi sektor industri dan transportasi. Rencananya, demand listrik seluruhnya disuplai pembangkit berbasis energi terbarukan sebesar 96 %, energi baru 4 % dari PLTN dengan total pembangkit EBT pada 2060 mencapai 700 GW.
“Penggunaan smartgrid juga direncanakan dikembangkan untuk meningkatkan konektivitas antar pulau, kurangi intermitensi,” ujar Chrisnawan.(RA)