JAKARTA – Industri migas Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Peryataan itu rasa-rasanya sudah diakui oleh para pemangku kepentingan, mulai dari tentu saja badan usaha hingga pemerintah juga mengamini pernyataan itu. Indikator paling jelas industri migas tanah air tidak sedang dalam kondisi baik dan cenderung terus alami kemerosotan adalah konsistensi penurunan produksi migas dalam beberapa tahun terakhir. Dari 1 jutaan barel per hari beberapa tahun lalu kini target hingga akhir tahun saja hanya 700 ribuan barel per hari

Tumbur Parlindungan, praktisi migas dan mantan presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) mengungkapkan para pelaku usaha sektor migas mengalami perubahan kondisi Indonesia dari sisi iklim berinvestasi. Indonesia kata dia adalah salah satu mutiara yang berkilau di industri migas, tapi itu berlaku pada 30-40 tahun lalu. Ini dimulai saat terobosan kala itu memperkenalkan skema cost recovery.

Harus diakui bahwa 30 tahun lalu Indonesia adalah macan Asia. Salah satu tempat terbaik untuk investasi migas, yang lainnya akhirnya melihat Indonesia bisa melakukan itu mereka meniru indonesia. Salah satunya adalah Malaysia yang meniru dan pada akhirnya semua meniru. Indonesia tidak berubah akhirnya mereka lebih baik, investor lari ke sana. Seperti itulah kondisi industri migas Indonesia saat ini.

Tapi ada hal mendasar lainnya yang jadi faktor sehingga membuat Indonesia menjadi tujuan utama investasi migas dunia kala itu, yakni kemudahan perizinan.

Sekarang ini para pelaku usaha yang mau berinvestasi harus berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan perizinan baik ditingkat pusat maupun daerah. Ini jadi salah satu masalah fundamental melorotnya investasi migas di tanah air. Menurut Tumbur banyaknya perizinan diberlakukan tidak hanya di level daerah bahkan di pusat setiap Kementeria atau Lembaga ada izin masing-masing.

Tumbur menilai pada era orde baru semua perizinan satu pintu. Jika ada yang membuat berbelit sedikit saja tinggal menghadap pimpinan kala itu, masalah bisa dikatakan cepat diselesaikan.

“Banyak aturan-aturan kolaborasi sama stakeholder ini sering tumpang tindih aturan. Kita nggak punya satu panduan, sekarang semua ada aturan masing-masing ada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masing-masing ini yang bikin bentrok kalau dulu menghadap Pak Harto (presiden Soeharto) beres semuanya,” ungkap Tumbur, baru-baru ini.

Inilah salah satu perbedaan yang paling dirasakan oleh para pelaku usaha, kondisi antara saat negara dipimpin oleh pemimpin semi diktator dan saat masuk di era demokrasi seperti sekarang.

Menurut Tumbur, untuk urusan kebijakan investasi, pada negara semi diktator praktis tidak banyak perubahan terjadi saat kontrak sedang berjalan. Lain hal di negara demokrasi setiap lima tahun jika berganti rezim maka ara kebijakan berubah, termasuk tidak sedikit mempengaruhi kontrak. Ini yang terjadi di Indonesia.

“Kalau negara demokrasi tiap lima atau 10 tahun bisa terjadi perubahan, itu bisa jadi country risk,” kata dia.

Namun demikian bukan berarti ujug-ujug sistem pemerintahan demokratis menjadi jelek. Para pelaku usaha hanya meminta adanya konsistensi dalam penerapan kebijakan dari pemerintah di era demokrasi seperti sekarang. Selain itu juga harus menghormati kontrak yang sedang berjalan. “Untuk investor masuk caranya adalah kita tetap konsisten, apa yang diputuskan sekarang tetap bgtu, itu yang mereka (investor) mau. Contract sanctity, itu yang kita mau, itu standard yang investor mau” ungkap Tumbur.

Tumbur mengingatkan kontribusi hulu migas terhadap ekonomi Indonesia bisa mencapai 80%. Itu tidak hanya dihasilkan dari kegiatan eksplorasi dan produksi tapi dua kegiatan inti itu melahirkan multipllier effect yang tidak sedikit pada industri turunannya.

“Jika kita melihat kontribusi Migas hampir 80% dari ekonomi di Indonesia digerakkan dari Migas khusus upstream. Indonesia 70 tahun bisa Merdeka bisa seperti sekarang ini digerakkan hulu Migas itu harus kita akui dulu buat Indonesia seperti sekarang ini itu karena Migas kadang kita lupa dengan sejarahnya,” tegas Tumbur.

Tantangan semakin berat karena pada kenyataannya kini perusahaan migas yang dulu jadi aktor utama untuk memproduksi migas Indonesia justru malah sudah berangsur-angsur angkat kaki dari tanah air.

Dulu, beberapa perusahaan yang sukses menemukan cadangan dalam jumlah besar atau giant discovery misalnya Caltex yang berubah menjadi Chevron. Mereka menemukan cadangan besar di Riau atau blok Rokan dan sudah lebih dari 50 tahun menjadi kontributor terbesar minyak tanah air.

Total yang telah menemukan cadangan gas besar di blok Mahakam, kini sudah keluar dimana blok tersebut dikelola oleh Pertamina sekarang. Kemudian ada Arco yang belakangan diakuisisi BP. Saat ini BP mengelola salah satu cadangan gas terbesar di Tangguh, Papua.

Kemudian tentu saja tidak bisa dilupakan Exxon dengan Mobil yang sukses menemukan cadangan besar di blok Cepu. Saat ini Blok Cepu sudah menjadi kontributor terbesar sekitar 220 ribu barel per hari.

Beberapa perusahaan lainnya yang dulu aktif mengeksplor Anadarko, HESS,Gulf, British Gas, , Marathon Oil Santa Fe Petroleum, Penzoil dan masih banyak lagi perusahaan lainnya.

Kini hanya beberapa perusahaan yang masih bertahan semisal Exxonmobil, Vico, Murphy, Talisman serta ada CNOOC. Namun hanya Exxon yang masih konsisten menyumbang produksi dalam jumlah besar.

Para pemain migas kelas kakap yang tersisa seperti Chevron misalnya sudah dipastikan tidak lagi menjadi operator di blok Rokan. Terbaru, Chevron juga akan melepas hak partisipasinya di proyek migas laut dalam (Indonesia Deepwater Development (IDD) dalam waktu dekat. Kemudian Shell yang jadi mitra Inpex juga saat ini tengah memasarkan hak partisipasinya di proyek Abadi di Masela. Padahal proyek gas tersebut adalah proyek gas terbesar dalam sejarah Indonesia. Ini jelas jadi pukulan telak bagi pemerintah terlepas dari alasan manajemen Shell yang mengklaim rencana penjualan hak partisipasi karena strategi global manajemen. Tapi itu memberikan kesan yang jelas bahwa Indonesia bukanlah negara prioritas untuk Shell berinvestasi.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara harus berbenah jika mimpi untuk bisa kembali memproduksi 1 juta barel per hari terjaga. Satu hal yang harus dipastikan terlebih dulu menurut Tumbur adalah apakah Indonesia masih membutuhkan investor untuk mempertahankan kelangsungan industri migas.

Sekitar 30 tahun lalu aktivitas eksplorasi di Indonesia sangat masif. Jika mau temukan cadangan jumlah besar lagi maka tidak ada jalan lain selain kembali perbanyak aktivitas eksploras tersebut. Tapi yang jadi pertanyaan siapa yang mau habiskan dana besar untuk eksplorasi. “Tahun 80 sampai awal 2000-an ada sekitar 150 sumur eksplorasi di Indonesia dan sekarang di bawah 20 sumur eksplorasi,“ ungkap Tumbur.

Dalam data SKK Migas hingga kini Indonesia memilik 20 basin yang telah berproduksi. 126 proven play, ada 832 lapangan atau struktur migas  dan telah ada temuan cadangan mencapai 113 miliar barel setara minyak. Kemudian masih ada potensi cadangan dari play yang ada mencapai 8,5 miliar barel setara minyak.

Jika sulit untuk menarik langsung perusahaan kakap maka pemerintah bisa menaruh harapan juga kepada para junior company. Mereka biasanya mau bermain di area-area eksplorasi dengan memanfaatan data dan teknologi yang mereka miliki. Ketika sudah ditemukan cadangan atau data yang meyakinkan baru mereka tawarkan ke para pemain besar ini bisa jadi cara alternatif untuk datangkan investasi besar. Tapi harus ada kepercayaan yang diberikan.

“Mereka kehilangan kepercayaan terhadap indonesia, mereka mendatangi tangani kontrak tapi kita tidak pernah menghargai kontrak kemudian kesucian kontrak ini sesuatu yang tidak bisa di negosiasikan ini satu yang kerap terjadi Indonesia,” kata Tumbur.(RI)