JAKARTA – Rencana pengembangan green refinery oleh PT Pertamina (Persero) yang bekerja sama dengan ENI, perusahaan asal Italia belum mengalami perkembangan berarti. Hingga kini, kedua perusahaan masih melakukan pembahasan yang bersifat administratif. Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pengerjaan green refinery dengan ENI sampai sekarang belum masuk tahap pembangunan fisik.

Syarat utama yang harus dipenuhi Pertamina adalah terkait sertifikasi penggunaan minyak kelapa sawit atau palm oil dan teknologi yang harus disiapkan Pertamina.

“Ada beberapa persyaratan dari sisi teknologi, termasuk sertifikasi dari palm oil. Ini masih sedang berlangsung pembicaraan teknologi dan persyaratan lainnya,” kata Arcandra di Jakarta. akhir pekan lalu.

Arcandra berharap pembahasan bisa cepat selesai dan tidak akan menghambat proyek pembangunan kilang. “Tidak ganggu (pembangunan) kilang,” ujar Arcandra.

Green Refinery rencananya akan menggunakan teknologi Hydrotreating Refinery. Teknologi itu sudah digunakan sebelumnya oleh ENI di Porto Maghera, Italia. Kilang nantinya akan menghasilkan green diesel, dihasilkan dari hidrogen murni, yakni hydrotreated vegetable oil (HVO), bukan methanol yang biasa digunakan untuk memproduksi biodiesel. Green diesel ini memiliki komposisi hydrocarburic penuh dan kandungan energi yang sangat tinggi.

Dalam data Pertamina, green refinery rencananya akan mampu mengolah CPO 20 ribu barel per hari (bph) dan menghasilkan green diesel 17,8 ribu bph. Perkiraan investasi untuk opsi ini yakni US$ 616 juta untuk fasilitas ISBL, palm oil treatment, steam reformer, utilities, tangki, dan lainnya.

Sambil berusaha penuhi syarat yang diajukan ENI, Pertamina saat ini masih menyusul kajian kelayakan feasibility study dan ditargetkan selesai akhir 2019. Green refinery nantinya diproyeksi dapat mengolah CPO 8,7 juta ton per tahun dan menghasilkan green diesel 47,6 juta barel.(RI)