JAKARTA – DPR akhirnya memiliki kesempatan untuk meminta penjelasan dari pemerintah mengenai tarik ulur penetapan harga BBM jenis Premium beberapa waktu lalu. Namun DPR melalui Komisi VII lebih memilih rapat tertutup.

Kemelut sesaat rapat baru dimulai saat Adian Napitupulu, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) mempertanyakan urgensi dari agenda rapat untuk membahas pembatalan kenaikan harga Premium.

“Tidak perlu dibahas kenapa? karena tidak penting. Apa urgensinya?, Rapat itu perlu urgensi, dampak apa yang ditimbulkan. Waktu sangat berharga. Tidak ada kepentingan,” kata Adian saat rapat kerja dengan Kementerian ESDM di Komisi VII DPR, Rabu (24/10).

Komisi VII DPR saat rapat kerja dengan Kementerian ESDM, Rabu (24/10).

Di sisi lain, Kardaya Warnika, Anggota Komisi VII lainnya menegaskan bahwa segala persoalan yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dibicarakan. Apalagi tarik ulur penetapan harga BBM sangat terasa ke masyarakat. Harga barang kebutuhan mulai bergejolak dengan adanya rencana kenaikan, tapi kemudian ditunda pemerintah.

“Kalau sudah masalah BBM, maka pengelolaan oleh negara harus memenuhi prinsip-prinsip ketersediaan. Lalu bisa diakses, terjangkau dan transapransi,” kata Kardaya.

Ridwan Hasjim, Wakil Ketua Komisi VII DPR pun memilih untuk melanjutkan rapat, namun diubah menjadi rapat tertutup. Beberapa anggota dewan yang terlihat kecewa pun memilih meninggalkan ruang rapat dan tidak melanjutkan rapat dengan agenda mendengarkan penjelasan Menteri ESDM.

Menurut Kardaya, ada kesan tidak biasa pada rapat kali ini yakni kesan kakhawatiran dan ingin menutupi sesuatu. Ia menyayangkan rapat yang sebelumnya dinyatakan dan ditetapkan terbuka justru harus dilanjutkan dalam keadaan tertutup.

“Awalnya sudah ketok buka kenapa tutup lagi. Kenapa tidak ada kepastian. Buat apa sih tertutup toh ke publik juga. Ada rahasia apa sih?”ungkapnya.

Polemik penetapan harga BBM bermula saat Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengumumkan rencana kenaikan harga Premium disela Forum IMF-World Bank di Bali beberapa pekan lalu. Harga Premium yang semula Rp6.550 akan dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Serta Rp6.900 per liter di Non Jamali.

Tak lama berselang, Agung Pribadi Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama (KLIK) Kementerian ESDM yang mendampingi sang menteri di Bali memberitahukan kepada awak media yang berada di Jakarta bahwa berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo rencana kenaikan harga Premium dikaji kembali dan menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).

Menurut Kardaya, rapat kerja itu biasanya terbuka, kecuali yang menyangkut individu seperti fit and proper test atau menyangkut perusahan. “Kalau kayak begini kan rakyat akan nanya, apa yang ditutupi. Padahal prinsip dalam BBM karena itu kebutuhan rakyat banyak harus transparan dan terbuka,” ungkap dia.

Apalagi ada kejadian yang sarat dengan ketidakpastian tentang penetapan harga BBM yang seharusnya melalui koordinasi tingkat tinggi level pemerintah

“Kok tiba-tiba atas arahan Presiden, BBM dinaikkan, lalu satu jam kemudian atas intruksi Presiden dibatalkan. Tadi ada arahan, ini ada arahan. Memang tidak dirapatkan dulu mengenai kenaikan BBM, biasanya rapat berkali-kali dan semua menteri terkait hadir dan dipimpin langsung Presiden,” kata Kardaya.(RI)