Harga avtur yang dijual Pertamina di beberapa bandara besar di Indonesia dinilai masih bisa bersaing dengan harga di beberapa bandara lain, khususnya di negara-negara ASEAN.(Foto/Dunia-Energi/Alfian)

JAKARTA – Pemerintah dinilai harus adil, jika ingin membuka pasar bahan bakar pesawat terbang atau avtur ke badan usaha swasta. Seperti PT Pertamina (Persero), badan usaha swasta pun harus mau memasok bahan bakar ke bandara-bandara di daerah remote atau terpencil.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan Pertamina selama ini harus men-supply bahan bakar ke bandara di daerah remote, sehingga harus melakukan subsidi silang dari bandara lainnya.

“Jika asing atau swasta mau masuk, harus ke semua wilayah, termasuk wilayah remote,” kata Mamit saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (13/2).

Menurut Mamit, harga avtur yang dijual Pertamina saat ini di beberapa bandara besar di Indonesia masih bisa bersaing dengan harga di beberapa bandara lain, khususnya di ASEAN.

Harga avtur di Bandara Soekarno Hatta misalnya, berada diposisi US$ 2,14 per gallon. Di Bandara Ngurah Rai, Bali avtur dipatok sebesar US$ 2,37 per gallon. Bandara Kualanamu, Medan dan Juanda, Surabaya harga avtur masing-masing dipatok sebesar US$ 2,41 dan US$ 2,32 per gallon.

Di negara-negara ASEAN lainnya, seperti di Myanmar, harga avtur mencapai US$ 2,71 per gallon. Di Filipina mencapai US$ 2,55 per gallon.

“Harga avtur Pertamina tidak paling mahal di ASEAN, masih kompetitif,” tukas Mamit.

Dia menambahkan, apabila ditemui harga avtur yang tinggi di beberapa bandara, wajar saja karena Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus mensubsidi. “Sebagai BUMN harus subsidi ke bandara yang termasuk wilayah remote,” ungkap Mamit.

Presiden Joko Widodo sebelumnya mengeluhkan mahalnya harga avtur akibat tidak adanya pemain di luar Pertamina dalam bisnis avtur. Karena itu, Presiden menegaskan akan membuka pasar avtur ke swasta, jika harga yang ada saat ini tidak kompetitif.

“Pilihannya hanya satu, harganya bisa sama dengan harga internasional, atau kalau tidak bisa saya akan masukkan kompetitor lain sehingga terjadi kompetisi,” kata Jokowi.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan hingga saat ini tidak ada larangan bagi badan usaha swasta untuk ikut berbisnis bahan bakar pesawat. Badan usaha selain Pertamina hanya tinggal berkoordinasi dengan pengelola bandara.

Berdasarkan Peraturan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Nomor 13 Tahun 2008 yang berlaku sejak 11 tahun lalu, pada Pasal 2 diatur bahwa kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian BBM penerbangan di setiap bandara terbuka bagi seluruh badan usaha, baik swasta maupun milik negara.

“Dia (badan usaha) kan harus jual itu ke pesawat. Di landasan, ada bandara, penguasa bandara  ada juga, nah dapat izin enggak? Kalau sudah dapat izin, ya enggak ada maslaah. Percuma kita kasih izin tapi dia tidak bisa bangun,” tandas Djoko.(RI)