JAKARTA- Dewan Energi Nasional (DEN) menilai pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) harus dilakukan secara massif, termasuk pengembangan PLTS Atap yang memerlukan dukungan dan kesediaan berkorban semua pemangku kepentingan demi kesejahteraan rakyat. Rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berniat merevisi Peratuan Menteri terkait PLTS Atap pun mendapat respons positif.

Satya Wira Yudha, Anggota DEN periode 2021-2025, menilai pengembangan PLTS Atap adalah untuk memajukan industri di dalam negeri, selain konsumen mendapatkan listrik murah karena memproduksi listrik sendiri. Dengan demikian, PLN pun harus dipisahkan dari fungsi tugas kenegaraan (melayani listrik untuk masyarakat), dan tugas industri murni. “Sekarang PLN pun sudah contracted take or pay. Ini menjadi hal yang tidak mudah,” ujar Satya saat berbicara pada Curah Pendapat “Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia” secara virtual, Kamis (19/8).

Menurut Satya, tidak mudah mengubah energi menjadi agen pertumbuhan. Terkadang perlu pengorbanan untuk memanen kemudian. Rencana revisi Permen ESDM soal PLTS Atap saat ini, lanjut Satya, mungkin saja merugikan bagi badan usaha, akan lebih baik ke depannya. “Itulah yang saya pandang soal kebijakan revisi PLTS Atap. Apakah akan kita mulai sekarang atau tidak mulai sama sekali,” kata dia.

Satya mengatakan PLTS saat ini ada dua model, yaitu yang digenerate oleh swasta (IPP) atau PLN. PLTS Atap bertujuan mengurangi penggunaan listrik. Dalam konteks penurunan emisi karbon, kalau yang berpartisipasi banyak otomatis penggunaan yang masih campuran (mix) berkurang. Apalagi saat ini konsumsi energi fosil masih tinggi sedangkan penggunaan energi baru terbarukan masih di bawah 15%.

“Saya ingin menekankan bahwa Presiden instruksikan untuk Menyusun Grand Strategy Nasional, salah satu item adalah percepat pembangkitan EBT. Hari ini DEN diskusikan mengenai nuklir, ini juga tertera dalam grand strategy. Penambahan EBT dalam Grand Strategy Nasional itu 35GW sampai 2035,” katanya.

Satya menegaskan, pengembangan EBT sebuah keniscayaan. EBT diakselerasi, sistem distribusi dengan smart grid smart distribution. Indonesia tidak bisa mengforcase nol emisi bila tidak pernah tahu kapan peak emission.

“Di negara maju pernah peak emission. Indonesia masih belum tahu, kita memeperkirakan pada 2030. Cina perkirakan peak emisionnya di 2030, india 2030-2050. Pertanyaannya kapan peak emission di indonesia, kapan posisi puncak kita, di sini baru kita bisa hitung kapan kita bisa emisi nol,” katanya. (RA)