PENINGKATAN harga minyak yang signifikan akibat perang Rusia-Ukraina, berpotensi memberikan tekanan terhadap kondisi fiskal, moneter dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kondisi tersebut menjadi momentum yang tepat untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri.

Pengembangan dan pemanfaatan EBT sangat relevan dengan proyeksi kebutuhan energi Indonesia yang akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memproyeksikan kebutuhan energi Indonesia akan meningkat dari 400 MTOE pada 2025 menjadi 1.012 MTOE pada 2050 atau meningkat sekitar 153 %.

Pada satu sisi kebutuhan atau konsumsi energi diproyeksikan meningkat, sementara di sisi lain produksi energi utamanya energi fosil diproyeksikan akan terus menurun. Untuk minyak bumi misalnya, pada tahun 2025 produksi minyak Indonesia diproyeksikan akan turun menjadi 471 ribu barel per hari. Produksi diproyeksikan akan meningkat menjadi 594 ribu barel pada 2050, namun tetap lebih rendah dibandingkan kemampuan produksi saat ini.

Untuk gas kondisinya juga relatif sama dengan minyak. Produksi gas diproyeksikan turun dari 5.732 MMSCFD pada 2025 menjadi 5.668 MMSCFD pada 2050. Produksi pada tahun 2050 tersebut jika terdapat tambahan cadangan dari kegiatan eksplorasi. Jika tidak terdapat tambahan cadangan, produksi gas pada tahun 2050 diproyeksikan akan turun menjadi sekitar 3.000 MMSCFD.

Meskipun jika nantinya terdapat tambahan cadangan dari kegiatan eksplorasi, neraca gas dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan dalam kondisi defisit. Pada tahun 2025 defisit neraca gas diproyeksikan sekitar 3.489 MMSCFD dan meningkat menjadi 20.201 MMSCFD pada 2050.

Mencermati permasalahan yang ada tersebut pengembangan dan pemanfaatan EBT potensial untuk menyelesaikan permasalahan potensi defisit pasokan energi bagi Indonesia. Data menunjukkan Indonesia memiliki keanekaragaman sumber EBT dan potensi yang cukup besar. Publikasi pemerintah menyebutkan saat ini Indonesia memiliki potensi EBT sekitar 443.208 MW. Dari potensi tersebut, yang sudah termanfaatkan baru sebesar 8.215 MW atau sekitar 1,9 % dari total potensi yang dimiliki Indonesia.

Pentingnya UU EBT

Keberadaan UU EBT penting sebagai payung hukum pengelolaan, pemanfaatan, dan optimalisasi sumber daya energi baru dan terbarukan. Indonesia memiliki sumber daya energi baru dan terbarukan yang belum dikelola secara optimal, sehingga memerlukan UU EBT untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatannya.

Peraturan perundang-undangan yang saat ini ada dan mengatur mengenai energi baru dan terbarukan masih tersebar dalam sejumlah regulasi yang berbeda sehingga belum dapat menjadi landasan hukum yang kuat, komprehensif, dan menjamin kepastian hukum. Keberadaan UU EBT penting sebagai payung hukum untuk mengatur dan menetapkan harga jual-beli EBT yang selama ini terpantau menjadi kendala utama dalam pengembangan dan pengusahaan EBT di Indonesia.

Dalam beberapa tahun ke depan Indonesia diproyeksikan akan menuju sebagai negara industri dan memerlukan energi dalam jumlah besar. Kebutuhan diproyeksikan tidak akan dapat hanya dipenuhi dari sumber energi fosil, namun memerlukan sumber energi lain dari energi baru dan terbarukan.

Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pengembangan EBT memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan transisi energi menuju sistem energi nasional yang berkelanjutan. Pemanfaatan EBT juga merupakan bagian dari upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Karena itu, keberadaan UU EBT menjadi penting.

Sebagai referensi, sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia telah memiliki Undang-Undang khusus terkait EBT. Data menunjukkan, pasca penerbitan UU EBT pengembangan EBT pada ketiga negara tersebut tercatat lebih ekspansif.

Pemanfaatan EBT Indonesia tercatat relatif rendah dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain. Rata-rata pemanfaatan EBT Indonesia sekitar 2,82 % dari total potensi. Sementara, rata-rata pemanfaatan EBT di ASEAN sekitar 10 % dari total potensi. Terbitnya UU EBT penting dan dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk pelaksanaan kebijakan insentif -fiskal dan non fiskal- yang diperlukan untuk pengembangan dan pengusahaan EBT.

Undang-undang EBT dapat menjadi payung hukum untuk membentuk Badan Usaha Khusus (BUK) Perencanaan dan Investasi EBT. BUK akan berperan sebagai executing agency bagi regulator dalam rangka pengembangan EBT, transisi energi nasional, dan percepatan peningkatan investasi.

Penerbitan UU EBT berpotensi dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional melalui kebijakan TKDN. Saat ini sekitar 70 % komponen EBT masih dipenuhi dari impor. Keberadaan UU EBT dapat mendorong pengembangan industri pendukung EBT sehingga nilai tambah ekonomi dari pengembangan dan pengusahaan EBT dapat lebih besar lagi.

Selain itu, UU EBT penting untuk mengatur hak dan kewajiban para stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, badan usaha swasta, dan konsumen dalam kegiatan pengelolaan, pengusahaan, dan pemanfaatan EBT. Dengan adanya pengaturan hak dan kewajiban bagi para stakeholder pengembangan dan pemanfaatan EBT diharapkan dapat lebih cepat dan masif.

Mengingat pentingnya keberadaan UU EBT sebagai payung hukum yang kuat dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan EBT, semoga para stakeholder dalam satu pemahaman bahwa proses penyusunan UU EBT yang saat ini sedang bergulir di DPR mendesak untuk segera diselesaikan. (*)