JAKARTA – Rancangan kebijakan suatu sektor baru, terutama yang berbasis teknologi yang sifatnya dinamis dari segi efisiensi dan harga, perlu berorientasi jangka panjang.

Adhityani Putri, Direktur Eksekutif Yayasan lndonesia Cerah, mengatakan bahwa rancangan kebijakan listrik tenaga surya harus mempertimbangkan bahwa biaya teknologi ini sedang terjun bebas dimana-mana.

“Indonesia hanya dapat mengakses harga tersebut apabila fondasi pasar bagi listrik tenaga surya dibangun dari sekarang. Hal ini dapat diwujudkan dengan cara memberikan dukungan dan ruang gerak bagi industri yang masih menggeliat,” kata Adhityani dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (26/2).

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan bahwa pendanaan bukanlah faktor penghambat dalam pengembangan proyek listrik tenaga surya di Indonesia.

Elrika Hamdi, Peneliti IEEFA, mengungkapkan sebenarnya cukup banyak bank lokal dan asing yang tertarik untuk mendanai proyek listrik tenaga surya skala besar (utility-scale)

“Masalah terletak di keberadaan proyeknya sendiri. Akibat berbagai hambatan kebijakan dan regulasi, maka tidak terdapat banyak proyek berkualitas dengan skala yang menarik yang dapat memenuhi persyaratan bank,” ungkap Elrika.

Dia menjelaskan, untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dari kajian IEEFA antara lain: Pertama, adanya pendekatan portfolio dimana beberapa proyek listrik tenaga surya kecil dikumpulkan menjadi satu yang dijadikan satu proyek investasi energi terbarukan dengan kualitas dan besaran yang dapat menarik minat berbagai lembaga keuangan.

Kedua, kajian IEEFA menyoroti tantangan sumber daya manusia yang masih terbatas dalam industri tenaga surya di Indonesia. Diperlukan investasi besar-besaran untuk mendidik dan melatih para insinyur dan teknisi tenaga surya untuk masa depan. Hal ini akan menjadi penting bagi transisi indonesia menuju masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan.

Kajian IEEFA menyimpulkan bahwa terdapat peluang yang nyata, tetapi dibutuhkan kepemimpinan dan kemauan politik agar hambatan-hambatan ini dapat diatasi.

“Apabila Indonesia tidak segera menyongsong masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan maka kita terpaksa harus menanggung biaya ekonomi, lingkungan hidup dan sosial yang berat akibat kesempatan yang hilang,” tandas Elrika.(RA)