JAKARTA – Industri hulu migas di Indonesia maupun dunia mengalami berbagai goncangan dalam beberapa tahun terakhir. Terlebih di Indonesia lantaran iklim investasinya dinilai terus mengalami tren penurunan akibat berbagai faktor. Salah satu tantangan berat yang dihadapi industri hulu migas adalah adanya tren transisi energi menuju ke energi non fosil.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia yang masih memiliki potensi dan mengandalkan migas dalam pemenuhan kebutuhan energinya diperlukan insentif agar bisa bersaing dengan transisi energi yang kini sedang terjadi.

Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), menjelaskan saat ini industri hulu migas secara global mengalami tekanan yang semakin kuat. Dia mengingatkan saat ini semakin terbatas alokasi investasi international Oil Company (IOC) sehubungan dengan perhatian mereka pada renewable energy.

Kemudian tambahan biaya operasional untuk mengakomodasi proyek low carbon, serta target IRR yang semakin tinggi dimasa mendatang bersaing dengan renewable energy yang umumnya mendapatkan berbagai macam insentif. Aspek komersial akan menjadi hal yang paling berpengaruh dibandingkan ketersediaan potensi migas, terlebih adanya energi transisi. “Maka saat ini adalah kesempatan untuk segera melakukan monetisasi atas potensi migas dengan memberikan paket insentif yang menarik bagi investor,” kata Benny, Kamis (26/8).

Benny menuturkan, cycle process dalam industri hulu migas sangat panjang dimulai dari penandatangan kontrak/lisensi, aktivitas G&G, pengeboran eksplorasi, penemuan, penilaian dan pengembangan, optimalisasi lapangan, produksi tahap lanjut, sampai dengan terjadi penurunan produksi dan abandonment. Oleh karena itu dalam perspektif investor, bisnis di hulu migas akan sangat ditentukan oleh 4 hal yaitu hasil geologi/sub surface, regulasi, fiskal dan kemudahan akses ke pasar. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah kemudahan berbisnis.

Insentif hulu migas tentu tergantung pada sistem kontrak yang dianut suatu negara. Sistem kontrak hulu migas didunia beragam. Untuk negara maju umumnya menggunakan sistem royalty dan tax, karena sistem perpajakan yang sudah maju. Untuk negara berkembang seperti Indonesia menggunakan Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery (CR).

Benny mengungkapkan Indonesia adalah negara yang pertama kali memperkenalkan sistem PSC di tahun 1966 yang kemudian diduplikat oleh Malaysia, Vietnam, negara Timur Tengah serta Afrika. PSC di Indonesia terus berkembang seiring perubahan regulasi dan perkembangan jaman sehingga PSC CR terus mengalami perubahan. Kemudian di tahun 2017, PSC bertambah dengan adanya sistem gross split (GR).

Menurut dia, bagi investor ketika ditanyakan PSC apa yang diminati apakah CR atau GR, jawabannya adalah sistem mana yang memberikan keuntungan dalam investasinya, mana yang memberikan internal rate of return (IRR) yang paling baik. Sehingga dimata investor PSC CR atau PSC GR adalah pilihan semata, mana yang paling mendukung target investasi mereka. “Negara mana yang menawarkan insentif fiskal yang menarik akan lebih diminati oleh investor”, ujar Benny. (RI)