JAKARTA – Wacana mengubah struktur tarif listrik dengan memasukkan harga batu bara acuan (HBA) untuk menggantikan acuan komponen minyak dinilai rasional. Alasannya, struktur tarif listrik sekarang lebih dominan dipengaruhi harga batu bara dan kontribusi pembangkit minyak makin kecil, hanya tinggal enam persen.

“Masalahnya, apa tujuan utama Menteri ESDM dengan hal itu? Jika perubahan struktur tarif itu tidak berimplikasi terhadap turunnya tarif listrik, ya sami mawon, tidak ada manfaatnya bagi konsumen,” ujar Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rabu (31/1).

Menurut Tulus, dengan dominannya pembangkit batu bara seharusnya struktur tarif listrik lebih ramping, lebih efisien dan berujung pada penurunan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Maka idealnya jika Menteri ESDM Ignasius Jonan ingin memasukkan HBA ke dalam struktur tarif menggantikan komponen ICP (Indonesian Crude Price) minyak, maka harus menggunakan HBA nasional, bukan HBA internasional.

“Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, tidak adil jika untuk menetapkan tarif listrik menggunakan HBA internasional. Sebaliknya, adalah rasional jika pemerintah menggunakan harga acuan ICP minyak untuk menetapkan tarif listrik, karena Indonesia adalah nett importer minyak,” ungkap Tulus dalam keterangan tertulisnya.

Tulus menegaskan pemerintah Indonesia harus berani melakukan moratorium ekspor batu bara, atau bahkan menghentikan. Pasalnya, cadangan batu bara Indonesia hanya dua persen dari cadangan dunia, tetapi menjadi eksportir terbesar di dunia. Sebaliknya, China dan India yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia, tidak melakukan ekspor batu bara.

China justru mengimpor batu bara dari Indonesia, dengan kualitas kalori yang lebih baik. Sedangkan pembangkit listrik di Indonesia justru dipasok dengan batu bara muda, dengan kandungan kalori yang rendah. Untuk itu, pemerintah seharusnya mengutamakan pasokan batu bara untuk kebutuhan nasional, bukan untuk kebutuhan internasional (dieskpor).

Menurut Tulus, Kementerian ESDM juga harus mampu mewujudkan pembangkit batu bara dengan teknologi yang bisa menghasilkan energi batu bara yang ramah lingkungan, sebagaimana pembangkit batu bara di Ninghai-China, yang mengklaim near zero emmission.

“Mengingat dampak emisi batu bara sangat korosif bagi lingkungan global (perubahan iklim),” tandasnya.(ES)