JAKARTA – Pemerintah diminta untuk pro aktif mencari solusi menentukan solusi nyata untuk bisa diterapkan guna mengatasi tingginya harga gas di tanah air. Achmad Widjaja, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Petrokimia, mengatakan pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang tidak hanya melihat dari sisi keekonomian.

“Pemerintah harus mengambil keputusan politik bukan hanya keputusan komersial dalam hitungan keekonomian gas bumi,” kata Achmad saat dihubungi Dunia Energi, Jumat (2/9).

Menurut dia, posisi pemerintah saat ini masih belum bisa menyelesaikan penyaluran gas oleh perusahaan terbuka dan tingginya biaya distribusi gas ke pelanggan. “Toll fee yang diterapkan berdasarkan aturan BPH migas Nomor 16 Tahun 2008 masih belum sesuai,” tukas Achmad.

Selain itu, strategi penerapan open access juga belum bisa dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh industri.

“Seperti open access pipa di perusahaan milik negara belum sepenuh nya di tetapkan, padahal insentif yang nyata ini bisa membantu pemerintah mengambil keputusan politik tersebut,” kata dia.

Luhut Binsar Pandjaitan, Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan pemerintah bersedia untuk dirugikan jika memang bisa memberikan dampak positif dan berkelanjutan bagi kemajuan industri.

“Jika pemerintah rugi katakana US$100 juta penerimaan berkurang, tapi jika dampaknya bisa berlipat ya kita pilih yang ini,” tandas Luhut.

Harga gas untuk industri di tanah air dikenal sebagai salah satu yang tertinggi di dunia, padahal Indonesia termasuk penghasil gas yang besar. Saat ini harga gas bagi industri berada diposisi US$ 8-US$10 per MMBTU. Harga tersebut lebih mahal dibanding harga gas yang berlaku di negara lain di wilayah ASEAN, seperti Malaysia, Filiphina bahkan Vietnam yang berkisar antara US$ 4-US$7 per MMBTU.(RI)