JAKARTA – Rencana PT Cirebon Energi Prasarana, pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon II untuk memulai tahap konstruksi (groundbreaking) pada Januari 2017 masih dibayangi gugatan dari sejumlah elemen masyarakat terkait izin lingkungan.

Tuntutan yang diajukan enam anggota masyarakat terdampak antara lain meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat membatalkan izin lingkungan kegiatan dan pembangunan PLTU Cirebon II yang berlokasi di kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Rabu (11/1) mulai menggelar sidang atas gugatan masyarakat itu.

Gugatan disampaikan oleh Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) ke Pengadilan Tata Usaha Bandung (TUN), didampingi Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim.

“Izin lingkungan PLTU Cirebon II tidak mengindahkan kehidupan nelayan kecil dan petambak yang hidup di sekitar PLTU yang terkena dampak,” ujar Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi WALHI Nasional, Kamis (12/1).

Dwi juga menyampaikan adanya kejanggalan pada proses pembuatan AMDAL, dimana kerangka acuan PLTU dilakukan di kabupaten Cirebon sedangkan AMDAL sendiri dilakukan ditingkat propinsi. Dalam hal ini berarti ada dua komisi AMDAL yang melakukan terhadap satu kegiatan.

Izin Lingkungan diterbitkan 11 Mei 2016 dan merupakan bagian dari rangkaian perizinan terkait rencana ekspansi PLTU batubara tahap 2 dengan kapasitas 1x 1000MW diatas tanah seluas 204,3 hektar untuk PT Cirebon Energi Prasarana (PT.CEPR) dengan nomor. 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016. Izin lingkungan tersebut dinilai cacat secara substansi, prosedur dan melanggar peraturan perundangan.

Akibatnya banyak nelayan kecil pencari ikan, rebon, kerang, pengrajin terasi dan petambak garam terancam kehilangan mata pancahariannya.

Menurut Wahyu Widianto, Koordinator Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, proyek pengadaan ketenagalistrikan 35 ribu megawatt (MW) yang menjadi primadona dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sangat dipaksakan.

“Percepatan pembangunan infrastruktur PLTU diwilayah Kanci dan sekitarnya di Kabupaten Cirebon jelas merupakan bentuk kejahatan tata ruang. Perda Tata Ruang Kabupaten Cirebon Pasal 19 Ayat (4) huruf a jelas menyatakan bahwa PLTU hanya diperbolehkan di Kecamatan Astanajapura. Sementara pembangunan PLTU Unit II mencakup wilayah di luar Astanajapura,” ungkap Wahyu Widianto.

Proyek PLTU Cirebon II berkapasitas 1.000 MW akan dibangun di atas lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disewa Cirebon Prasarana selama 40 tahun.

Heru Dewanto, Presiden Direktur Cirebon Energi, sebelumnya mengatakan penolakan sebagain elemen masyarakat sebenarnya berujung pada masalah sosial, yakni serapan tenaga kerja lokal. Untuk itu, manajemen Cirebon Energi berkomitmen untuk membantu penyerapan tenaga kerja lokal di proyek PLTU Cirebon II.

“Sepanjang pekerjaan yang relatif bisa dikerjakan pekerja lokal bisa kita dorong ke perusahaan EPC. Tapi semangat kita dengan EPC sama, sebanyak-banyaknya menyerap pekerja lokal,” tandas Heru.(RA)