Regulasi yang berubah-ubah menjadi salah satu faktor penyebab tidak tercapainya target investasi energi baru terbarukan.

JAKARTA – Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong gairah investasi di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) masih belum membuahkan hasil. Ini bisa dilihat dari realisasI investasi yang meleset dari target sebesar Rp 21,06 triliun.

Data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga akhir 2017 realisasi investasi baru mencapai Rp 17,66 triliun.

Rida Mulyana Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan salah satu faktor tidak tercapainya realisasi investasi tahun ini adalah para pelaku usaha masih menunggu beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah menjelang akhir tahun berakhir. Apalagi dengan adanya perubahan regulasi terkait EBT hingga lebih dari tiga kali.

“Pengembang itu masih wait and see dengan kondisi yang ada. Pengembang menyoroti efektivitas Permen 50/2017. Itu banyak hal yang membuat mereka wait and see, nunggu dulu. Kami apain juga mereka bilang nanti juga berubah lagi peraturannya. Mereka sampai hitung, peraturannyasudah berubah lima kali,” kata Rida saat diskusi bersama media di kantor Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Jakarta, Rabu malam (27/12).

Realisasi investasi EBT juga lebih rendah dibanding 2016 yang mencapai Rp21,25 triliun, namun masih lebih baik dibanding 2014 dan 2015 sebesar Rp8,63 triilun dan Rp13,95 triliun.

Secara garis besar ada tiga poin utama yang menjadi sorotan para pelaku usaha yang sudah disampaikan ke pemerintah, yakni penerapan tarif, mekanisme penetapan pengembang serta skema Build Own Operate Transfer (BOOT) atau pembangkit listrik diserahkan ke negara setelah masa kontrak berakhir.

Menurut Rida, pelaku usaha masih mempersoalkan aturan main bisnis EBT, terutama dalam permasalahan tarif yang diatur dalam beleid terbaru yang maksimal ditetapkan sebesar 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) setempat.

“General Manager PLN di lapangan agak kurang berani ambil keputusan, karena takutnya mereka misalkan ada yang memproses 7 Megawatt (MW), dikasih kesepakatan 80% dari BPP misalkan, tapi yang di lokasi lain, sama-sama 7 MW, akhirnya disuruh ikut juga atas alasan efisiensi. Padahal kita tahu tiap tempat kan beda-beda,” ungkap Rida.

Kemudian skema penetapan pengembang yang sekarang menganut sistem pemilihan langsung juga menjadi sorotan para pelaku usaha. Investor terus mengeluhkan dengan adanya skema ini maka bisa memberatkan para investor terutama yang bergerak di sektor EBT spesifik seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH).

“PLTMH itu kan spesifik, dan izin dari bupatinya kan hanya satu pihak. Jadi kenapa harus pemilihan? Kalau pemilihan, diadukan, lalu yang menang itu yang tidak dapat izin dari bupati, terus bagaimana? Di beberapa forum yang saya ikuti juga hal ini mengemuka,” kata Rida.

Terakhir skema BOOT yang yang menurut para pelaku usaha skema Private Public Partnership (PPP) lebih cocok untuk mengembangkan pembangkit EBT.

Ketiga hal itulah yang menjadi isu utama dan penyebab terhambatnya investasi.

Pemerintah, kata Rida tidak menampik adanya ganjalan tersebut. Untuk itu, saat ini tengah diintensifkan untuk merumuskan sebuah kebijakan yang bisa diterima semua pihak.

“Perlu dicatat. Bisa jadi tiga hal itu yang membuat mereka dalam posisi wait and see. Ini yang kemudian membuat investasi sedikit terhambat. Ini indikasi nyata,” tandas Rida.(RI)