JAKARTA – Program pencampuran 20% bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar atau B20 pada 2016 mencatat penghematan devisa US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 14,8 triliun.

Bayu Khrisnamurti, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, mengatakan program B20 juga telah memberikan manfaat besar dalam bentuk pengurangan greenhouse gas emission (GHG) sekitar 4,49 juta ton COZe, utilisasi bahan bakar nabati berbasis produk dalam negeri 45,5 ribu barel per hari, menciptakan nilai tambah Industri Rp 4,4 triliun, dan penyerapan tenaga kerja (on-farm dan off-farm) 385 ribu orang.

“Tahun 2016, program B20 telah menyerap 2,7 juta kiloliter (KL) biodiesel. Semula, target penyerapan biodiesel PSO (public service offering) dan PT PLN (Persero) 2016 ditargetkan 2,5 juta KL. Dana Sawit yang digunakan untuk mendukung program B20 tahun 2016 mencapai Rp 10,6 triliun,” kata Bayu di Jakarta.

Bayu menjelaskan, sepanjang 2016 program B20 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penyerapan Iebih besar dari capaian tahun 2014 (saat masih didukung subsidi APBN) yang sebesar 1,84 juta KL dan penyerapan tahun 2015 (tanpa APBN) 0,56 juta KL. Produsen biofuel sawit juga telah berkontribusi melalui pajak PPN sebesar Rp 996 miliar.

Menurut Bayu, pada tahun lalu Indonesia tercatat sebagai negara dengan ekspor Internationally Certified Sustainable Palm Oil terbesar di dunia. Prestasi tersebut didasari oleh langkah strategis yang dilakukan pemerintah Indonesia yang berdampak pada situasi persawitan dunia.

Pertama, Indonesia menerapkan implementasi program B20, yaitu kewajiban mencampur 20% biodiesel sawit pada setiap minyak solar yang dijual. Kedua, mengaktifkan secara penuh pemanfaatan Dana Sawit melalui BPDP, baik untuk mendukung program B20 maupun program strategis Iain yaitu peremajaan kebun sawit rakyat, riset sawit, pendidikan dan Iatihan petani sawit, serta promosi dan diplomasi sawit.

Tahun 2016 volume ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), PKO dan turunannya mencapai 25,7 juta ton, turun sekitar 2 persen dibanding 2015 yang mencapai 26,2 juta ton. Namun demikian, nilai ekspor sawit 2016 mencapai US$ 17,8 miliar atau sekitar Rp 240 triliun, naik 8 persen dibanding 2015 yang mencapai US$ 16,5 miliar atau sekitar Rp 220 triliun.

Kenaikan nilai eskpor itu disebabkan oleh kenaikan harga CPO global (harga CPO Juni 2015: US$535 per ton, Januari 2016: US$558 per ton, dan Desember 2016: US$789 per ton.

Bayu menyampaikan, kenaikan nilai ekspor didorong hilirisasi produk ekspor sawit Indonesia yang semakin bernilai tinggi. Misalnya, produk minyak goreng (RBD palmoil) dalam kemasan dan bermerek Indonesia, RBD palm kernel olein, dan RBD palm kernel stearin, volume ekspornya naik 22%.

“Sepanjang 2016 ekspor produk hilir sawit telah mencapai 75,6% dari total ekspor sawit Indonesia,” katanya.

Menurut Bayu, masalah yang masih dihadapi dalam penyaluran dana sawit adalah mengenai kegiatan replanting kebun rakyat. Saat ini, sudah ada usulan kegiatan peremajaan lahan seluas 26,5 ribu hektar, yang melibatkan sekitar 12 ribu petani yang terdiri dari 79% petani swadaya dan 21% petani plasma.

“Namun 61% dari usulan itu masih menghadapi kendala kejelasan status lahan, sehingga masih membutuhkan proses verifikasi kebenaran data dan verifikasi ketepatan sasaran bahwa dana sawit memang untuk petani kecil,” tandas Bayu.(RA)