JAKARTA – Pemerintah saat ini masih melakukan kajian untuk menetapkan formulasi harga khusus batu bara bagi pembangkit listrik. Kajian dilakukan lantaran skema penetapan harga yang ada menggunakan skema business to business dengan menggunakan Harga Batu bara Acuan (HBA).

Garibaldi Thohir, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (ADRO), mengungkapkan tidak mudah menetapkan formulasi harga khusus batu bara lantaran akan ada yang terdampak, khususnya royalti atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Ini yang makanya harus kita pikirkan. Tentu di satu sisi, teman-teman di pertambangan juga memikirkan bahwa kami ada kontribusi dalam bentuk PNBP. Terus pajak yang kami bayarkan ke pemerintah, kalau yang (PKP2B) generasi I, itu 45% loh. Jadi komponennya banyak,” kata Garibaldi saat ditemui di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (5/2).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hari ini memanggil perwakilan para perusahaan pertambangan batu bara di tanah air dan PT PLN (Persero) untuk membahas hal tersebut.

Namun hingga akhir pertemuan ternyata belum ada kata sepakat terkait formulasi tersebut. Rencananya formulasi tersebut bisa ditetapkan paling tidak dalam dua minggu kedepan.

“Kalau seminggu dua minggu setuju ya setuju. Tadi kan kata Pak Menteri, (ESDM), kalau kedua pihak setuju (pengusaha dan PLN), balik ke menteri. Pak Menteri tinggal mengetahui, karena nanti kan ada bagian royalti, pajak yang harus kami share,” ungkap Garibaldi.

Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan Strategis PLN, mengatakan dalam penetapan formulasi nanti harus dipastikan bahwa harga listrik menjadi lebih kompetitif dengan tidak melupakan kondisi keuangan PLN sebagai badan usaha dan tentu itu juga yang menjadi pertimbanga para pelaku usaha pertambangan batu bara.

Saat ini pasokan listrik sebanyak lebih dari 50% dipenuhi dari pembangkit listrik batu bara karena itu penetapan formulasi harga khusus bagi pembangkit dipastikan juga akan berdampak pada harga batu bara.

“Listrik ini 60% diproduksi dari batu bara. Batu bara jadi backbone energi listrik. Backbone itu apa? Dia menjadi base loader, jadi dia akan beroperasi secara continue,” ungkap Iwan.

Konsekuansi sebagai backbone maka harus ada cost yang dikeluarkan perusahaan. Karena berapa pun harga batu bara naik tetap masih dianggap paling murah.

Iwan mencontohkan jika memakai bahan baku batu bara cost listrik per KWh bisa mencapai Rp 650 per KWh (dengan depresiasi hampir 0). Sedangkan jika menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa mencapai Rp 1.600 per KWh dan memakai gas rata-rata US$ 8 atau jika dijadikan listrik mencapai Rp 7 sent per KWh.

“Itu pasti lebih mahal dari batu bara. Batu bara tetap jadi backbone, makanya backbone ini harus dijaga,” tandas Iwan. (RI)