JAKARTA – Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut perubahan sistem pengusahaan migas dari production sharing contract (PSC) ke gross split memiliki dampak positif, tetapi juga menyisakan hal-hal negatif. Hal ini diungkap DEN dalam surat yang ditujukan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan, belum lama ini.

Andang Bachtiar, anggota DEN dari unsur pemangku pentingan teknologi, mengatakan upaya pemerintah dalam melakukan terobosan memecahkan persoalan pertumbuhan industri migas di tanah air melalui skema gross split, memiliki beberapa kelebihan di antaranya; proses pengambilan keputusan bisnis lebih cepat dan praktis, karena keterlibatan pemerintah jauh berkurang atau bahkan tidak ada.

Dengan berkurangnya keterlibatan lembaga pemerintah sebagai pelaksana dalam kegiatan hulu migas, maka keuangan negara akan lebih efisien dan hemat dari sisi pemerintah. Selain itu, tidak ada lagi proses politik melalui persetujuan parlemen terkait penerimaan negara dari cost recovery. Hal itu karena tidak ada lagi cost recovery dalam sistem gross split.

“Mengurangi kerumitan audit (hanya audit pajak saja) sementara audit kontraktual hanya sebatas pemeriksaan volume produksi dan/atau revenue,” ungkap Andang.

Namun skema gross split menyisakan beberapa kekurangan atau memiliki potensi kelemahan. Kontrol negara atas produksi migas nasional berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Muaranya adalah ketahanan energi menurun terutama pada aspek ketersediaan energy (availability).

Pun demikian kontrol negara atas pengolahan reservoir jadi berkurang atau bisa hilang sama sekali. Akibatnya, produksi migas nasional meleset dari rencana akibat kerusakan reservoir yang juga akan menurunkan ketahanan energi nasional.

“Rencana pemerintah untuk meningkatkan kegiatan ekoplorasi migas tiga kali lipat dari sebelumnya dalam lima tahun ke depan akan sulut terlaksana karena kontraktor-kontraktor gross split PSC akan lebih mengutamakan efisiensi biaya dan penggejotan produksi untuk revenue daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi,” kata Andang.

Kelemahan lainnya, pengembangan EOR (Enhanced Oil Recovery) dan lapangan maginal akan sulit dilaksanakan, karena biayanya yang besar dan IRR-nya yang kecil. Padahal dalam rencana umum energi nasional, dalam lima tahun ke depan, Indonesia akan mulai meningkatkan produksi dari potensi EOR sejumlah 2,5 miliar barel minyak bumi yang masih tersimpan di reservoir.

Terakhir, pengembangan SDM (sumber daya manusia), transfer teknologi, TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dan juga standarisasi akan sulit diimplementasikan karena kurang atau tidak adanya kontrol langsung pemerintah pada proses E&P dalam sistem gross split PSC.

Rekomendasi

Untuk mengantisipasi potensi kelemahan sistem gross split, DEN merekomendasikan kepada Menteri ESDM agar dalam kontrak kerja sama memberikan batasan-batasan terhadap kontraktor di dalam syarat dan ketentuan (term and condition) sedemikian rupa sehingga dapat mengamankan kepentingan negara terutama terkait ketahanan energi nasional.

Beberapa batasan yang dianjurkan yakni sistem gross split PSC diprioritaskan untuk diterapkan pada blok-blok migas produktif yang akan habis kontraknya dalam waktu dekat yang cadangan tersisa dan potensi sumber daya migasnya relatif lebih pasti diketahui daripada blok-blok migas yang masih dalam tahap eksplorasi.

Kemudian untuk blok-blok migas produktif, besaran gross split ditentukan berdasarkan keekonomian rencana pengembangan tiap-tiap lapangan migas. Untuk blok-blok migas eksplorasi besaran gross split ditentukan berdasarkan keekonomian rencana pengembangan konseptual dari sumber daya migas blok yang bersangkutan, yang nantinya setelah adanya discovery dimungkinkan renegosiasi gross split berdasarkan hasil temuan dan biaya yang sudah dikeluarkan.

Selanjutnya level produksi harus ditetapkan sesuai dengan kondisi lapangan migas dan kebutuhan nasional terhadap minyak dan gas bumi, sehingga kontraktor tidak terlalu mengontrol produksi di level tertentu saja hanya untuk kepentingan bisnis kontraktor.

Selain itu, perlu juga perlu memasukan klausul kewajiban manajemen reservoir di dalam kontrak, untuk menjaga keberlanjutan produksi sesuai dengan rate produksi yang ditetapkan pemerintah. Langkah ini perlu dilakukan, sehingga tidak terjadi peak production secara cepat dan penurunan level produksi secara drastis yang dilakukan oleh kontraktor untuk mempercepat mendapatkan keuntungan dengan menggenjot produksi di awal masa kontrak.

“Komitmen eksplorasi harus dicantumkan dalam kontrak kerja saran, sebagai contoh dengan menetapkan 30-40% reserves yang akan di produksi akan didapatkan kembali melalui pelaksanaan kemitraan eksplorasi sehingga jumlah cadangan migas dapat dijaga,” saran lain yang diberikan kepada Menteri ESDM.

Insentif terhadap kontraktor perlu diberikan terutama ketika perubahan harga minyak atau gas, sehingga diperlukan insentif terhadap kontraktor ketika harga di bawah base line price dan diperlukan penambahan bagian pemerintah ketika harga minyak dan gas mengalami kenaikan tajam untuk mendapatkan windfall profit bagi pemerintah. Karena itulah gross split harus bersifat regresif.

Terakhir, SKK Migas atau BUMN Khusus sebagaimana sesuai dengan ketentuan dalam RUU Migas yang baru, akan fokus sebagai counterpart bagi kontraktor migas untuk menjaga batasan-batasan sesuai dalam kontrak bagi hasil yang ditetapkan oleh Menteri ESDM.(AP)