JAKARTA – Persentase pembangkit energi baru terbarukan (EBT) saat ini masih jauh dari target yang ditetapkan sebesar 23% pada 2025. Rasio elektrifikasi di daerah Timur Indonesia masih rendah.

“Sebagai peluang pengembangan EBT, terbuka kemungkinan skema pembangkit hybrid untuk menurunkan pemakaian HSD,” kata Tohari Hadiat, Kepala Divisi EBT PT PLN (Persero) di Jakarta, Kamis (21/12)

Menurut Tohari, harga solar panel makin kompetitif ke depannya. Penerapan dan pengembangan smart grid dan control system sangat dimungkinkan untuk meningkatkan penetrasi pembangkit EBT. Penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN) sangat dimungkinkan dengan catatan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO)  bersaing dengan harga High Speed Diesel (HSD) .

Cadangan feedstock (untuk Biomass/Biogas) masih melimpah di beberapa daerah, sehingga pengembangan masih dimungkinkan. Pengembangan Biomass/Biogas sangat diminati karena bisa melibatkan masyarakat dalam penyediaan feed stock.

“Untuk hydro, optimasi desain pembangkit hydro dilakukan sehingga keekonomian proyek bisa memenuhi kebutuhan keekonomian sistem,” kata dia.

Untuk panas bumi, perlu optimasi strategi pengembangan lapangan panas bumi dan design pembangkit, sehingga keekonomian proyek bisa memenuhi kebutuhan keekonomian sistem.

PLN berpeluang untuk pengembangan hydro dan panas bumi yang izin-izin pengembangannya telah diterbitkan, namun belum berjalan untuk dapat diberikan penugasannya ke PLN.

Tohari mengatakan sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT, antara lain biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan PLN di beberapa wilayah Indonesia sudah relatif rendah. Di samping itu, daerah sulit menerima EBT karena alasan over supply, terutama untuk daerah yang mempunyai independent power producer (IPP) pembangkit termal (PLTU dan PLTG), sehingga bila ada penetrasi PLTS/PLTB akan membuat pembangkit termal tersebut harus menurunkan outputnya ditengah kondisi Take or Pay.

“Beberapa daerah memiliki install capacity yang kecil sehingga pembangkit EBT Intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil,” kata Tohari.

Untuk pembangkit hydro, tantangannya berupa daerah dengan potensi energi yang besar tetapi demand-nya terbatas. Untuk pembangkit listrik panas bumi (PLTP), biaya eksplorasi terutama untuk drilling cukup besar dengan success ratio yang kecil (besaran kapasitas antara potensi dengan cadangan terbukti yang berbeda).

Menurut Tohari, sejumlah strategi pengembangan EBT adalah melalui pengembangan pembangkit listrik yang mempertimbangkan keseimbangan antara penawaran-permintaan dan kesiapan sistem serta efisiensi biaya.

“PLN akan memanfaatkan sumber energi terbarukan lokal dari sumber energi air, panas bumi (termasuk skala kecil / modular), biofuel, energi angin, energi matahari, biomassa dan sampah, dan lain-lain dan mendukung usaha menciptakan RE-BID (renewable energy based on Industrial Development),” ujar Tohari.

Khusus untuk PV, PLN akan mendorong pengembangan PV terpusat untuk daerah terpencil yang relatif jauh dari grid yang ada. Kawasan ini bisa jadi daerah yang belum berkembang, daerah perbatasan dan pulau terluar.

Sistem hibrid (PV, RE, dan Diesel PP lainnya) akan dikembangkan untuk daerah belum terlistriki (Off Grid) dan daerah yang masih memiliki listrik kurang dari 12 jam, umumnya di bagian timur Indonesia.

PLN akan mengembangkan sistem Smart Grid untuk meningkatkan penetrasi intermiten RE dan meningkatkan kehandalan sistem tenaga. PLN juga akan mengembangkan jaringan mikro (biasanya menggunakan PV) untuk daerah dimana jalur distribusi tidak akan dikembangkan dalam 2-3 tahun ke depan.

“PLN akan mengurangi penggunaan HSD dan MFO dan mendorong pemanfaatan biofuel,” kata Tohari.(RA)