JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), adalah satu-satunya perusahaan domestik yang memiliki kemampuan dan kompetensi paling tinggi dalam mengembangkan dan mengelola potensi energi panas bumi di Indonesia. Upaya PT PLN (Persero) untuk mengakuisisi PGE dari Pertamina dinilai tidak realistis karena kemampuan dan pengalaman PGE dalam mengelola potensi panas bumi di Tanah Air lebih tinggi dibandingkan PLN.

“Upaya PLN masuk bisnis panas bumi sebenarnya bisa saja karena perusahaan itu bergerak di bidang energi. Namun ada BUMN lain yang lebih berkompeten dan punya kemampuan mengelola panas bumi, yaitu  Pertamina,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) di Jakarta, Kamis (27/10).

PLN sebelumnya berminat untuk mengakuisisi 50 persen saham PGE untuk kembali menggiatkan lini bisnis panas bumi. PLN bersama PGE dan empat perusahaan lainnya juga diketahui ikut dalam lelang dua pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik Chevron Geothermal Indonesia Ltd, yaitu PLTP Salak di Kabupaten Bogor berkapasitas 377 megawatt (MW) dan PLTP Darajat berkapasitas 255 MW di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Menurut Yusri, Pertamina sesungguhnya lebih siap mengelola potensi panas bumi di Tanah Air karena perusahaan ini terbukti berpengalaman mengembangkan sejumlah wilayah kerja panas (WKP) panas bumi seperti di Kamojang, Gunung Rajabasa, dan Lahendong. Menurut catatan Yusri, Dinas Geothermal Pertamina pertama dibentuk 1974 dan pertama mengirim orang ke Selandia Baru, negara yang sukses dalam pengembangan energi panas bumi, pada 1979.

“Soal panas bumi, Pertamina lebih expert. Bahkan jauh sebelumnya perusahaan itu sudah mengembangkan sumber daya manusia dengan menyekolahkannya ke  Selandia Baru”, katanya.

Surya Dharma, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI),  mengakui bahwa Pertamina memiliki pengalaman mengelola dan mengembangkan panas bumi yang sangat panjang dan sudah teruji, baik hulu maupun hilir. Konsistensi PGE dalam mengembangkan panas bumi yang tidak pernah terhenti dalam keadaan sesulit dan dalam kondisi krisis apapun telah terbukti.

Menurut Surya, Pertamina memiliki sumber daya manusia dan pengembangannya yang kontinu sebagai sumberdaya yang mendukung pengembangan panas bumi.  Selain itu,  Pertamina melalui PGE juga sudah memiliki peta jalan (road map) pengembangan panas bumi yang tertata.

“Dibandingkan  dengan perusahaan lain yang tersebut seperti PLN, Star Energy, Medco Power, Marubeni dan Mitsui, mereka masih banyak kekurangannya karena tidak selengkap jika dibandingkan PGE,”  kata dia.

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, menjelaskan Pertamina terus aktif dan berkomitmen untuk mengembangkan panas bumi. Beberapa proyek sudah dapat diselesaikan tahun ini dan lebih cepat dari target. Pertamina, tambah Syamsu, berkomitmen menggenjot pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik panas bumi menjadi 1.026 MW hingga 2019 dengan investasi sekitar US$2,5 miliar untuk mendorong pemanfaatan panas bumi nasional yang saat ini masih sekitar 5 persen pemanfaatannya dari total sumber daya yang dimiliki.

Menurut Syamsu, Pertamina berkomitmen mempercepat pemanfaatan panas bumi dan konsisten menjadi yang terdepan dalam melaksanakan pengembangan panas bumi di Indonesia. Bahkan, di saat investor lain pun tidak banyak tergerak karena berbagai hambatan yang dialami, Pertamina terus berinvestasi di sektor panas bumi. “Kami berkomitmen mendukung pengembangan panas bumi untuk kemandirian energi di Tanah Air” ujarnya.

Total kapasitas terpasang PLTP yang dikelola PGE saat ini tercatat 457 MW. Pasokan produksi listrik panas bumi tersebut berasal dari lima unit PLTP Kamojang dengan total kapasitas 235 MW di wilayah kerja panas (WKP) bumi Kamojang-Darajat, Jawa Barat. Kemudian empat unit PLTP Lahendong berkapasitas 100  MW di WKP Lahendong, Sulawesi Utara, dan dua unit PLTP Ulubelu berkapasitas 110 MW di WKP Gunung Way Panas, Lampung serta  PLTP Sibayak di WKP Gunung Sibayak-Gunung Sinabung, Sumatera Utara berkapasitas 12 MW.

PLN Fokus Transmisi

Yusri mendukung PLN agar fokus dalam menuntaskan target program penyediaan transmisi listrik 35.000 megawatt yang merupakan tugas dari pemerintah. Apalagi Menteri  Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan juga mengkritisi keinginan manajemen PLN yang berminat masuk dalam pengelolaan panas bumi karena maslaah utama distribusi tenaga listrik saja belum tuntas.

Menurut Jonan rasio elektrifikasi Indonesia saat ini mencapai 88,3 persen, namun belum merata. Karena itu, pembangunan transmisi tenaga listrik mutlak dilakukan agar distribusi kelistrikan merata di wilayah Tanah Air. “Selama ini, rasio elektrifikasi hanya mmenghitung konsumsi listik rumah tangga tanpa menghitung fasilitas umum dan fasilitas sosial yang terdapat di wilayah bersangkutan.

Pemerintah menargetkan pembangunan transmisi pada megaproyek 35.000 MW bisa mencapai 46.597 kilometer. Saat ini sepanjang 16.079 km atau 35 persen, sudah memasuki pelaksanaan konstruksi dan sepanjang 26.709 km memasuki masa prakonstruksi.
Sedangkan transmisi yang sudah beroperasi tercatat sepanjang 3.809 km, atau 8 persen dari target.

Jonan memahami bahwa masuknya PLN ke bisnis panas bumi untuk menciptakan kondisi listrik yang lebih efisien. Namun, dia khawatir jika fokus PLN malah terpecah-pecah.

“Kalau memang PLN bisa (bangun transmisi), laksanakan. Kalau tidak bisa, ya gunakan swasta. Saya minta, hal prioritas seperti ini sebisa mungkin jangan menggunakan dana APBN,”  jelas Jonan. (DR)