JAKARTA – Pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk mengelola dan memanfaatkan panas bumi di wilayah kerja panas bumi (WKP) Gunung Ciremai. Penugasan tersebut akan ditandai dengan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Draf SK akan diajukan ke Menteri ESDM Ignasius Jonan pada akhir Januari 2017.

Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengatakan pengalihan dari lelang menjadi penugasan merupakan bagian dari aspirasi masyarakat Kuningan dan sekitarnya yang diakomodir pemerintah. Penugasan ke Pertamina juga mendapat dukungan dari 20 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memanfaatkan uap panas bumi di Gunung Ciremai.

“Mereka menginginkan secepatnya uap panas bumi Gunung Ciremai dimanfaatkan. Mereka menyarankan sebaiknya yang memanfaatkan Pertamina saja, jangan asing. Dan itulah keberpihakan negara dalam rangka kedaulatan energi,” kata Yunus, akhir pekan lalu.

Pemberian SK Penugasan sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi Pasal 28 yang menyatakan pemerintah dalam melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan dapat menugasi badan layanan umum atau badan usaha milik negara yang berusaha di bidang panas bumi.

Menurut Yunus, SK penugasan saat ini sedang didiskusikan dan di evaluasi sebelum diajukan kepada Menteri ESDM. SK penugasan ditargetkan bisa terbit pada Februari 2017.

WKP Gunung Ciremai yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka memiliki potensi sumber daya panas bumi serata 150 megawatt (MW). WKP Gunung Ciremai direncanakan untuk dikembangkan sebesar 55 MW atau setara dengan kemampuan untuk menerangi sekitar 42.300 rumah penduduk dan diharapkan dapat berproduksi 2025.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan panas bumi adalah kearifan lokal Indonesia, karena tidak semua negara mempunyai panas bumi. “Karena itu pengembangan potensi panas bumi perlu kita dorong secepatnya,” tegas dia.

Menurut Arcandra, konsumsi listrik di Indonesia yang masih tergolong rendah, yaitu sekitar 900 kWh per kapita. Padahal, konsumsi listrik per kapita merupakan salah satu indikator yang menunjukkan produktivitas. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara maju apabila konsumsi listrik mencapai sekitar 4.000 kWh per kapita.

Usaha peningkatan konsumsi listrik ini tentunya perlu didukung dengan suplai yang memadai. Seiring dengan penurunan cadangan energi yang bersumber dari bahan bakar fosil, pengembangan energi terbarukan bukan lagi menjadi suatu alternatif, melainkan sebuah keharusan. Hal ini sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN), untuk mencapai target bauran energi terbarukan 2025 sebesar 23 persen.

“Namun, dalam pengembangan energi terbarukan, setiap negara melihat apa yang dinamakan kearifan lokal,” tandas Arcandra.(AT)