Dari kiri: VP HR, Communications and General Services Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, dan Pemimpin Redaksi Dunia Energi, Hidayat tantan dalam Diskusi "Membedah Potensi Blok Mahakam" di Jakarta, Rabu, 31 juli 2013.

Dari kiri: VP HR, Communications and General Services Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, dan Pemimpin Redaksi Dunia Energi, Hidayat tantan dalam Diskusi “Membedah Potensi Blok Mahakam” di Jakarta, Rabu, 31 juli 2013.

JAKARTA – Pengamat minyak dan gas bumi (migas) Pri Agung Rakhmanto menegaskan, keputusan pemerintah terkait kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhir kontraknya dengan Total E&P Indonesie, harus dikeluarkan tahun ini juga. Hal ini untuk mencegah semakin banyaknya muatan politik, jika finalisasi nasib blok itu sampai menyeberang ke 2014.

Harus diakui, kata Pri Agung, memanasnya suhu politik menjelang berakhirnya kontrak Blok Mahakam pada 2017, diakibatkan oleh kondisi pengelolaan migas Indonesia yang tidak ideal. Menurutnya, kontrak Blok Mahakam menjadi isu besar, karena mencuatnya dikotomi nasional versus asing, dan label nasionalis versus tidak nasionalis, terkait pengelolaan blok tersebut.

Pri Agung menambahkan, Blok Mahakam menjadi rebutan, karena negara tidak secara konsisten menjalankan politik kemandirian dan kedaulatan migas, dan itu sudah berlangsung sejak lama. Yakni sejak era Undang-Undang (UU) Migas Nomor 8/1971 menyebabkan kecenderungan Pertamina untuk selalu memperpanjang kontrak. Juga era UU Migas Nomor 22/2001 yang mengkondisikan terjadinya persaingan atau perebutan oleh Pertamina vs Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) asing.

“Buktinya dulu Pertamina juga yang memperpanjang beberapa kali kontrak Blok Mahakam. Mestinya sejak dulu blok itu diambil oleh Pertamina untuk dikelola sendiri, namun itu tidak dilakukan. Jadi kondisi yang kita hadapi memang tidak ideal,” tutur Pri Agung dalam diskusi “Membedah Potensi Blok Mahakam” di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2013.

Kondisi itu diperparah, lanjut Pri Agung, dengan kenyataan bahwa negara cenderung tidak berani mengambil risiko secara progresif dalam mengambil keputusan atas Blok Mahakam, karena sekitar 25-30% produksi gas dan 8% produksi minyak nasional berasal dari sana. “Menjadi sulit bagi negara untuk dapat mengambil alih dengan risiko rendah, karena di dalam PSC atau kontrak kerjasama migas, tidak ada ketentuan mengenai masa transisi sebelum kontrak berakhir,” tambahnya.

Terkait dengan hal itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini pun mengungkapkan beberapa usulan, tekait pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak Total pada 2017. “Prinsipnya, pasca 2012 itu harus ada kontrak baru, Blok Mahakam harus kembali dulu ke negara,” tandasnya.  

Dengan kontrak baru itu, kata Pri Agung, Total tetap mendapatkan kesempatan mengelola di sana, dengan status kontrak baru, bukan perpanjangan. Berikanlah kontrak baru ke Total sampai 2022, dan Pertamina bisa masuk sebagai operator di Blok Mahakam pasca 2022.

“Selama lima tahun itu, adalah masa transisi, persiapan operator baru untuk mengelola Blok Mahakam. Dan yang lebih penting, putuskan tahun ini juga, jangan dibawa ke 2014…!,” tegas Pri Agung.

Kepentingan Negara Jangka Panjang

Dalam kesempatan yang sama, Vice President Human Resources, Communications and General Services Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto menuturkan, segera lahirnya keputusan pemerintah terkait kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam, sangatlah penting bagi Total. Mengingat investasi migas sifatnya long term (jangka panjang).

Ia menyesalkan pihak-pihak yang menuding Total mengancam atau menekan pemerintah, ketika menanyakan kepastian keputusan kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam.  “Kita tidak pernah berusaha mengancam pemerintah, kami hanya ingin ada kepastian tentang rencana investasi kami. Karena kami juga sungguh-sungguh akan menanamkan investasi USD 7,3 miliar di Blok Mahakam,” ujarnya.

Kalau toh ke depan akan ada pergantian pengelolaan, menurut Novi adanya masa transisi itu penting. Ibarat sebuah pesawat yang akan ganti pilot, ungkapnya, tentu pilot yang lama akan memberikan informasi hal apa saja yang harus diperhatikan, agar pesawat dapat diterbangkan dengan layak.

“Kami ini serba salah. Ketika memberikan informasi yang benar tentang kondisi investasi kami, dituduh mengancam pemerintah. Nanti kalau informasi tidak diberikan dan terjadi apa-apa, kami juga yang disalahkan. Tawaran kami sudah jelas, berikan kami kepastian, ke depan kami akan mentransfer pengetahuan sebaik-baiknya,” kata Novi lagi.

Total pun, ujar Novi, tidak keberatan menegosiasikan kembali split atau bagi hasil pengelolaan Blok Mahakam dengan pemerintah. “Soal split kita biasa, tapi tentu saja kita tidak akan lari dari hitungan keekonomian,” terangnya. Saat ini pun, ujarnya, secara riil bagi hasil antara Pemerintah Indonesia dan Total, berada di kisaran 90:10, jika dikaitkan dengan berbagai tanggung jawab sosial dan investasi yang ditanamkan Total di Blok Mahakam.     

Pri Agung pun menandaskan, masa transisi pada alih kelola blok migas sangat penting. Ia setuju dengan analogi pesawat ganti pilot, dimana kalau tidak ada masa transisi tentu sangat berisiko. “Jadi kami berharap apa pun yang akan diputuskan pemerintah, masa transisi itu penting guna menekan risiko. Karena kalau risiko itu terjadi, yang dipertaruhkan adalah kepentingan negara,” tandasnya.

Sayangnya, dalam diskusi tersebut Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini yang juga diundang sebagai pembicara, tidak bisa hadir. Rudi pun tidak mewakilkan kesempatan itu kepada stafnya yang lain. “Seharusnya dalam kesempatan seperti ini, pemerintah yang harus bersikap di depan. Karena ini menyangkut kepentingan negara dala jangka panjang, bukan semata-mata Total atau Pertamina,” kritik Pri Agung.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)