JAKARTA – Pemerintah dinilai kurang merespon kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga memberikan efek domino terhadap industri migas dan turut berdampak terhadap stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM).

“Pemerintah terlena dengan rendahnya harga minyak dunia, sehingga subsidi energi lebih banyak dialokasikan kepada sektor non energi seperti infrastruktur. Akibatnya saat harga minyak tinggi seperti saat ini, APBN kita terancam defisit makin dalam,” kata Rofi Munawar, Anggota Komisi VII DPR kepada Dunia Energi, Selasa (27/2).

Menurut Rofi, kenaikan harga BBM nonsubsidi merupakan konsekuensi logis dari kenaikan harga minyak secara global dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Puncaknya jika dibiarkan terus menerus dipastikan akan berpengaruh kepada besaran Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN).

“Kenaikan harga BBM nonsubsidi tidak bisa dicegah karena pemerintah telah menyerahkan mekanisme penentuan harga kepada pasar,” tukas dia.

Saat ini harga minyak mentah dunia sudah diatas US$60 per barel. Harga minyak acuan Brent (ICE) mencapai US$67,31 per barel dan West Texas Intermediate (WTI) berada di harga US$63,55 per liter. Serta kurs rupiah berada di angka Rp 13.685 per dolar AS.

Menurut Rofi, sejumlah kalangan sebenarnya sudah memberikan prediksi bahwa harga minyak dunia akan naik signifikan didasarkan kepada perkembangan teknis dan non teknis dari negara-negara produsen minyak. Serta kondisi geopolitik negara-negara produsen minyak di Timur Tengah yang cenderung memanas dan tidak stabil.

Untuk itu, pemerintah harus segera merumuskan formula dan strategi yang tepat dari setiap kenaikan Indonesia Crude Price (ICP). Terlebih kenaikan harga minyak ini secara faktual tidak sesuai lagi dengan alokasi anggaran energi yang telah dipatok pada APBN 2018 sebesar US$ 46 per barel.

“Kenaikan harga BBM menunjukkan pemerintah tidak mempunyai instrumen efektif dan terobosan yang baik dalam mencegah, bukti bahwa kami sangat lemah dalam membendung proses liberalisasi di sektor migas,” kata Rofi.

PT Pertamina (Persero), pekan lalu telah menaikkan harga BBM nonsubsidi sebesar Rp300-Rp750 menyusul langkah badan usaha penyalur BBM swasta lainnya yang telah terlebih dulu menyesuaikan harga. Harga Pertamax naik Rp300 dari Rp8.600 menjadi Rp8.900 per liter. Kenaikan harga tersebut membuat selisih harga Pertamax dengan Premium yang harganya ditetapkan pemerintah makin lebar, yakni Rp2.350 per liter.

Selain itu, harga Pertamax Turbo naik Rp500 dari Rp9.600 menjadi Rp10.100 per liter. Kenaikan juga dialami bahan bakar khusus untuk mesin diesel. Dexlite harga semula Rp 7.500. Dexlite naik Rp 600 menjadi Rp 8.100 per liter.

Namun Pertamina tetap mempertahankan harga BBM dengan research octane number (RON) 90, yakni Pertalite sebesar Rp7.600 per liter. Padahal, harga produk sejenis yang dipasarkan badan usaha lainnya telah mencapai Rp8.350-Rp8.400 per liter.

Harga jual BBM Vivo jenis Revvo 90 atau setara Pertalite dari sebelumnya Rp 7.500 per liter menjadi Rp 8.350 per liter. Untuk jenis Revvo 92 atau setara Pertamax juga naik dari Rp 8.250 menjadi Rp 9.100 per liter. Keduanya naik Rp 850 per liter.

Seiring kenaikan harga minyak dunia, badan usaha penyalur BBM menaikkan harga jual produknya.

Untuk BBM Shell, bahan bakar yang baik jenis Super menjadi Rp 9.250, V Power Rp 10.450 dan Diesel menjadi Rp 10.150. Serta Shell Regular dengan RON90 dipatok sebesar Rp8.400 per liter. Untuk Total juga dinaikan Performance 92 menjadi Rp9.150.(RI)