JAKARTA – Penerapan kontrak pengelolaan lapangan minyak dan gas, diluar kontrak produksi bagi hasil (production sharing contract/PSC) menjadi salah satu cara untuk memperkecil potensi kerugian dari perhitungan biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery).

“Dalam hitung-hitung cost recovery kan jika kita tidak lebih pintar dari kontraktor bisa ada potential loss juga,” ujar Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar kepada Dunia Energi, Rabu (28/9).

20160831_084228

Menurut Satya, salah satu tipe kontrak yang bisa dikaji adalah gross revenue split, yang perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah dilakukan saat awal pembahasan kontrak.

“Jadi misalnya dari semua pembiayaan pokoknya pemerintah kebagian untung 55% dan kontraktor 45% kotor. Itu kontraktor kan harus menanggung semua pembiayaan,” ungkap dia.

Dengan cara itu, lanjut Satya, intervensi pemerintah akan sedikit terbatas dan hanya sebatas melakukan pengawasan secara makro. Namun proses krusial dalam kontrak kerja sama tetap bisa diawasi pemerintah.

“SKK Migas mengawasi secara makro saja. Kalau sekarang kan setiap detail diawasi. Dengan tipe baru kita serahkan pembahasan WP&B dan  PoD kepada kontraktor dan diawasi SKK Migas,” kata dia.

Pri Agung Rachmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, mengatakan pemberlakuan tipe kontrak baru memang bisa saja terjadi, karena dari sisi regulasi juga tidak dilarang. Namun pemerintah  harus melakukan kajian secara mendalam untuk mendapatkan perhitungan ideal dalam menetapkan gross-nya agar dapat diterima sehingga bisa meyakinkan dan mencapai kesepakatan dengan para kontraktor .

“Pemerintah harus melakukan exercise, hitung-hitungannya seperti apa kan tergantung gross-nya pemerintah seperti apa. Yang jelas tidak ada royalti gross yang besarnya untuk kontraktor 50%,” tandas Pri Agung.(RI)