JAKARTA– Pembukaan keran ekspor bijih mentah nikel (terbatas pada nikel berkadar rendah) dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia. Nico Kanter, Direktur Utama PT Vale Indonesia Tbk (INCO), mengatakan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara., harga nikel langsung menurun.

“Penurunan harga nikel ini diperkirakan berkepanjangan dan akan berdampak langsung pada pendapatan perusahaan smelter di Indonesia dan juga pada pendapatan pemerintah dari sektor nikel,” kata Nico Kanter.

Nico mengatakan jika kewajiban menyerap bijih dengan kadar rendah akan meningkatkan unit biaya produksi smelter, dan hal tersebut mengakibatkan operasional smelter menjadi kurang kompetitif.

Di samping itu, lanjut Nico, kendala lain yang mungkin terjadi menurutnya adalah dari sisi pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement) yang dapat menjadi celah bahwa, pada prakteknya ekspor tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dan bijih nikel kadar rendah saja. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan (over supply) dan pada akhirnya berdampak pada penurunan harga nikel yang signifikan.

Nico menjelaskan, investasi smelter membutuhkan modal yang besar dan tingkat kepercayaan yang tinggi. Tanpa konsistensi kebijakan, dukungan fasilitas dan juga kondisi harga mineral yang baik, akan sulit sekali untuk berinvestasi.

“Kami akan senantiasa berdiskusi dengan pemerintah dalam upaya agar interpretasi dan implementasi peraturan ini akan sesuai dengan maksud dan tujuannya untuk memberikan manfaat yang besar untuk semua pemangku kepentingan,” katanya seperti dikutip Antara.

Menurut dia, sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel, beberapa smelter nikel telah berproduksi dan, dalam jumlah yang lebih banyak lagi, smelter-smelter baru tengah dibangun di Indonesia. Mayoritas smelter ini akan menghasilkan produk nickel pig iron (NPI) dan berkompetisi dengan produsen NPI maupun ferronikel di luar Indonesia, terutama di China.

Dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia telah meningkat dari peringkat 4 di dunia pada tahun 2015 menjadi peringkat 3 pada 2016. Dengan laju pembangunan smelter seperti saat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai tingkat pertama di dunia pada 2017.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menjelaskan beberapa poin penting perubahan Peraturan Pemerintah No1 Tahun 2017, antara lain penghapusan ketentuan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang telah melakukan pemurnian dapat menjual hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu. Tujuan utama dari PP tersebut adalah guna melaksanakan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. (DR)