JAKARTA – Pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti holding migas tidak melanggar aturan hukum yang berlaku. Bahkan, rencana tersebut sesuai dengan arahan undang-undang bahwa keberadaan BUMN bisa dirasakan langsung oleh negara dan masyarakat.

Hal ini diungkapkan Jimly Asshiddqie, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, disela diskusi Understanding Value Creation Process of Holding BUMN di Jakarta, Rabu (21/12).

Jimly menegaskan poin utama pembentukan holding migas adalah menciptakan sinergi antar perusahaan yang nanti bergabung. “Holding bisa konstitusional dan secara struktural bisa. Sinergi antar dua perusahaan bisa dilihat dalam berbagai hal, termasuk tenaga kerja dan lainnya,” kata dia.

Pembentukan holding BUMN migas akan dilaksanakan pemerintah dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) dengan PT Pertamina (Persero).

Menurut Jimly, sinergi harus berdasarkan mekanisme yang diatur dengan kebijakan pasti. Bila perlu ada sedikit paksaan karena jika setelah dikaji ternyata memberikan manfaat maka negara dalam hal ini pemerintah harus memiliki landasan kuat untuk melaksanakan rencana tersebut.

“Meskipun tidak dalam arti struktural tapi jika dibilang lebih efisien ya dijalankan saja. Tapi jangan sampai merger struktural jadi tidak efisien,” ungkapnya.

Menurut Jimly, mantan ketua Mahkaman Konstitusi (MK) itu, ide untuk modernisasi kelembagaan di sektor migas dengan pembentukan holding itu bisa saja dilaksanakan, namun jangan sampai pembentukannya nanti justru menimbulkan disfungsi atau malfungsi yang hanya menyedot sumberdaya saja.

“Kemampuan sumber daya yang berfungsi secara efektif dan efisien harus berjalan,” kata Jimly.

Pembentukan holding migas hingga saat ini belum terealisasi. Padahal pada awalnya pemerintah menargetkan holding bisa terealisasi pasca Lebaran lalu.

Kementerian BUMN masih menunggu keputusan revisi Peratuan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara. Revisi ditargetkan segera rampung dan implementasinya bisa dilakukan pada Januari 2017.

Edwin Hidayat Abdullah Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata, Kementerian BUMN menyatakan hingga saat ini persoalan utama industri migas di Indonesia adalah tumpang tindihnya peran hulu dan hilir antara Pertamina dengan PGN. Dengan skema holding maka bisnis yang sifatnya duplikasi antara entitas usaha akan dikurangi atau bahkan dihilangkan.

“Salah satunya target pembangunan infrastruktur gas yang diharapkan menurunkan harga gas bagi industri secara signifikan,” tandas Edwin.(RI)