JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) memproyeksikan harga batu bara acuan (HBA) 2018 akan berada di kisaran US$85 per ton. Harga batu bara akan ditentukan oleh supply dan demand.

“Kalau melihat market dan persiapan teman-teman. Untuk budget tahun depan perkiraan harga batu bara US$85 per ton, tergantung supply dan demand juga,” kata Pandu Sjahrir, Ketua Umum APBI di Jakarta, belum lama ini.

Pandu menambahkan pemerintah juga menginginkan produksi batu bara lebih stabil dan bisa diprediksi untuk tahun depan. Perkiraan dari semua itu, kenaikan produksi batu bara akan terbatas atau flat.

Upaya perundingan antara perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dengan pemerintah soal konversi menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) juga akan berpengaruh pada HBA.

Menurut Pandu, APBI akan merilis proyeksi ke depan pada akhir 2017. Dari sisi produksi diperkirakan ada kenaikan sedikit, tetapi tidak akan sepesat periode 2010-2011.

“Kenaikan waktu itu cepat sekali, jadi sekarang lebih stabil. Kalau dari produsen 10 besar, kita melihat naik 3%-5%. Jadi naiknya akan melihat teman-teman. Januari kita akan melihat produksi dan tahun depan hasil dari negosiasi PKP2B,” ungkap dia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan HBA Oktober 2017 naik sebesar 2,13% menjadi US$93,99 per ton dibanding periode September sebesar US$92,03 per ton.

Dadan Kusdiana, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, mengatakan indeks-indeks harga batu bara dunia tengah mengalami kenaikan, sehingga HBA juga ikut meningkat.

Empat indeks penyusun tersebut adalah Indonesia Coal Index (ICI), New Castle Global Coal (GC), New Castle Export Index (NEX), dan Platts59. Masing-masing indeks memiliki bobot 25%.

“HBA kan dibentuk dari berbagai indeks harga batu bara, baik di dalam negeri maupun internasional. Jadi perubahan harga tersebut sesuatu yang wajar karena mereflesikan kondisi pasar,” tandas Dadan.(RA)