JAKARTA – Pemerintah diminta kembali melakukan kajian terhadap rencana penambahan sektor industri yang menikmati insentif harga gas murah. Harga gas yang kompetitif sudah sewajarnya diberikan kepada semua kelompok industri, untuk mendukung konversi energi.

Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas, mengungkapkan aspirasi para pelaku usaha yang disampaikan kepada pemerintah adalah insentif harga gas diberikan kepada semua sektor.

“Semua industri mendapatkan kemudahan energi, jangan dibagi-bagi seperti itu,” kata Achmad kepada Dunia Energi, Jumat (10/3).

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu, menyebutkan terdapat tujuh sektor industri yang mendapatkan harga khusus, yakni oleochemical, kaca, keramik, sarung tangan karet, pupuk, baja dan petrokimia. Saat ini baru tiga industri yang mendapatkan fasilitas harga khusus, yakni pupuk, baja dan petrokimia.

Belum tuntas dengan penurunan harga untuk keempat industri lainnya, kini pemerintah tengah mengkaji penambahan sektor industri lainnya untuk menikmati insentif harga gas murah yakni industri tekstil, makanan dan minuman, pulp dan paper, serta industrial estate (kawasan industri).

Pemerintah beralasan pemilihan industri tersebut dilakukan bagi industri yang memberikan multiplier effect lebih kepada masyarakat.

Selain itu, pemberian insentif dalam bentuk fasilitas harga gas murah nantinya juga masih bisa dikaji ulang seiring waktu karena perhitungan harga gas akan berkaitan dengan harga minyak dunia yang juga fluktuatif.

Menurut Achmad, ketika harga gas terlampau tinggi maka para pelaku usaha tidak ada pilihan selain menggunakan bahan baku yang lebih murah yakni batubara. Disisi lain, batubara memiliki dampak negatif yang tidak sedikit.

Ketika pelaku usaha memilih batubara sebagai alternatif bahan baku energi maka konsekuensinya para pelaku industri harus menyiapkan logistik pengangkutan, baik itu fasilitas maupun sarana dan prasarananya. Belum lagi dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pembakaran batubara.

“Batubara memang lebih murah, tapi itu riskan karena perlu logistik, transportasi dan lainnya, kemudian debunya itu 15 persen besar sekali. Jadi berat logistik sama lingkungannya,” ungkapnya.

Lebih lanjut Achmad mengungkapkan dampak lingkungan menjadi salah satu konsekuensi terbesar yang harus diterima dan sudah ada contoh dan dampak nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Pemerintah sebelum telah menginstruksikan Kawasan Industri Tekstil Majalaya menggunakan batubara. Hasilnya, udara disana tidak lagi bagus, begitu juga dengan kondisi sarana dan prasarana logistik.

“Majalaya dianjurkan perindustrian pakai batubara itu lewat Cirebon. Jalan Cirebon ke Majalaya hancur tidak diperbaiki lagi, lalu hitam semua disana karena debunya tebal,” ungkap Achmad.

Dia pun meminta agar kebijakan harga gas secara nasional mengadopsi kebijakan yang diberikan kepada para pelaku industri di Sumatera Utara. “Buat seperti Medan saja, kita perjuangkan bisa semua industri,” tandas Achmad.(RI)