MONASIT merupakan salah satu mineral tanah jarang, ikutan dari kegiatan pengusahaan timah. Sejak 2015, PT Timah (Persero) Tbk mulai memanfaatkan mineral masa depan tersebut. Hanya saja, masih dalam skala uji coba, jumlahnyapun tak seberapa.

“Memang harus diakui pemanfaatan mineral ikutan dari kegiatan penambangan timah belum maksimal dilakukan. Kita masih fokus pada kegiatan penambangan dan pengolahan timah, belum ke mineral ikutan lainnya. Sejauh ini masih dalam skala ujicoba, yakni pilot plant pengolahan monasit menjadi hidroxida,” ungkap Mokhtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Utama Timah, belum lama ini.

Mineral ikutan yang lebih dikenal sebagai mineral tanah jarang dari timah sebenarnya merupakan mineral yang sangat dibutuhkan dan akan memberi nilai tambah dari kegiatan penambangan dan pengolahan timah.

“Kita masih terus mencari teknologi terbaik yang handal, sehingga bisa mencapai skala keekonomian, ketika diproduksi dalam jumlah besar dan komersial,” kata Riza.

Karena masih terus mencari teknologi yang handal, efisien dan ekonomis itulah, maka pilot plant pengolahan monasit di Tanjung Ular, Bangka, baru mengolah Monasit menjadi hidroxida sebanyak 50 kilogram per hari.
Harganya lumayan bagus, sekitar US$ 230 per kg. Permintaan terhadap mineral tanah jarang juga cukup besar. “Sampai saat ini belum dijual, hasil pengolahan masih kita simpan,” tambah Riza lagi.

Monasit merupakan salah satu logam tanah jarang ikutan yang berasal dari kegiatan penambangan bijih timah. Logam tanah jarang seperti monasit, dipergunakan sebagai bahan baku produk elektronik seperti tv, laptop, telepon genggam dan sebagainya. Tidak berlebihan jika kemudian ada yang menyebut, mineral tanah jarang merupakan mineral masa depan.

Logam tanah jarang seperti monasit dalam bentuk oksida, memiliki peranan yang sangat penting dalam kebutuhan industri masa depan seperti superkonduktor, laser, optik elektronik, aplikasi LED dan iPAD, glass dan juga keramik. Logam tanah jarang mampu menghasilkan neomagnet yaitu magnet yang memiliki medan magnet yang lebih baik dari magnet biasa. Kehadiran mobil bertenaga listrik, merupakan buah dari pemanfaatan logam tanah jarang.

Bahkan dalam aplikasi metalurgi, penambahan logam tanah jarang digunakan dalam pembuatan baja paduan rendah berkekuatan tinggi (High Strength Low Alloy/HSLA) baja karbon tinggi, super alloy dan stainless steel. Hal ini karena logam tanah jarang memiliki kemampuan ketahanan terhadap panas. Logam tanah jarang yang ditambahkan pada paduan magnesium dan aluminium, akan menambah kekuatan dan kekerasan paduan tersebut secara signifikan.
Di Indonesia, seperti penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara (Tekmira), terdapat dua jenis mineral yang mengandung logam tanah jarang yakni monasit dan senotim. Beberapa daerah di Indonesia yang mengandung daerah deposit monasit yaitu Bangka-Belitung, Karimata/Ketapang, Rirang-Tanah Merah.

Di Bangka, mineral monasit diperoleh sebagai hasil samping penambangan timah. Data dari Pusat Sumberdaya Geologi pada 2007 menyebutkan bahwa cadangan monasit di Indonesia sekitar 185.992 ton dengan konsentrasi terbanyak di daerah penghasil timah.

Penelitian dan pengembangan logam tanah jarang di Indonesia sudah dilakukan, baik oleh Tekmira, Badan Teknologi Atom Nasional (Batan) maupun berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun industri.

Pilot plant pemanfaatan logam tanah jarang Monasit menjadi oksida di Timah, merupakan buah dari hasil penelitian tersebut.

Semoga pemanfaatan logam tanah jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi tersebut tidak hanya sukses dalam skala ujicoba, tetapi juga bisa sukses dalam skala komersial, sehingga bisa memberi nilai tambah yang besar tidak hanya bagi Timah, tetapi juga bagi bangsa Indonesia.(AP)