JAKARTA – Pasca berakhirnya tenggang waktu izin ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2017 yang seharusnya berujung pada pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini justru memicu kegaduhan. Ini disebabkan langkah pemerintah yang memperpanjang izin ekspor hingga lima tahun ke depan.

“Pemerintah bukannya sibuk mendorong upaya mengembangkan industri hilir di dalam negeri, namun justru sibuk bagaimana mineral mentah yang belum diolah dan dimurnikan dapat diekspor,” ujar Ahmad Redi, Pakar Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara, di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Ahmad, yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumberdaya Alam, hilirisasi semakin tidak jelas, sedangkan kebijakan relaksasi atau ekspor bahan mentah dan konsentrat selalu menjadi fokus.

Pemerintah seolah lebih memilih menghidupkan industri di luar negeri dengan menyuplai berbagai mineral mentah dan konsentrat dari tanah air, dibanding memikirkan bagaimana industri hilir mineral dalam negeri dapat berkembang dengan baik.

“Ada apa dan mengapa kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri tidak dapat diimplementasikan? Begitu lemahkah negara ini sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan pengolahan dan permunian hasil tambangnya di dalam negeri yang notabene-nya merupakan kewajiban perusahaan pertambangan?” kata Ahmad.

Pemerintah, lanjut dia, tersandera berbagai kepentingan asing yang merongrong kebijakan hilirisasi. Padahal, melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, akan memberikan efek berganda.

Pada 11 Januari 2017,

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, pada 11 Januari 2017 menerbitkan dua Peraturan Menteri (Permen) ESDM, yaitu (1) Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Kedua Permen ini merupakan tindak lanjut diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan.

Hal tersebut, telah jelas menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 102, 103 dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba).

Beberapa pokok ketentuan dalam Permen ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017, antara lain:

1. Pemberian kelonggaran ekspor terhadap mineral yang belum diolah dan dimurnikan selama 5 tahun sejak Januari 2017.

2. Pemberian kelonggaran ekspor mineral selama 5 tahun sejak Januari 2017 kepada pemegang Kontrak Karya (KK) yang melakukan perubahan bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

3. Adanya mekanisme perubahan bentuk perubahan pengusahan dari KK menjadi IUPK.

Secara filosofi, bahan tambang mineral merupakan kekayaan yang terkandung dalam perut bumi Indonesia dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Konstitusi Indonesia telah menegaskan mandat tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Kajian Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN), Kementerian ESDM (2012) menunjukkan adanya peningkatan sebesar 10,23 kali lipat jika bauksit diolah menjadi alumina, mengingat
harga bauksit di 2011 sebesar US$ 29 per ton, sementara harga alumina mencapai US$ 274 per ton. Sedangkan jika alumina diolah menjadi aluminium, maka nilai jualnyaakan menjadi US$ 3.822,00 per ton, atau 139,23 kali lipat dibandingkan dengan harga bauksit mentah.

Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) 2016 membuktikan bahwa pembangunan smelter untuk pengolahan dan pemurnian mineral bauksit di Kalimantan Barat dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar.

Secara kebijakan, Pasal 102 dan 103 UU Minerba telah menegaskan kewajiban pengolahandan pemurnian mineral mentah di dalam negeri bagi pemegang IUP/IUPK, sedangkan Pasal 170 UU Minerba juga mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudahberproduksi seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan lain-lain untuk
melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU Minerba diundangkan,yakni Tahun 2014.

Sejalan dengan kebijakan ini, pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor mineralmentah (tanpa pengecualian) di tahun 2012 melalui Permen ESDM 7/2012. Namun, dari rentetan kebijakan yang selanjutnya dikeluarkan, pemerintah justru terlihat plin plan.

Sebut saja Permen ESDM 20/2013 yang memberikan tenggat waktu untuk eskpor mineralmentah hingga Januari 2014 dan Permen ESDM 1/2014 yang mengizinkan ekspor konsentrat hingga Januari 2017.

Pada 2014, APEMINDO dan perusahaan mineral lainnya pernah mengajukanpermohonan pengujian pasal 102 dan 103 UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. Namun, putusan MK nomor 10/PUU-XII/2014 menolak permohonan APEMINDO.

Menurut MK, dalih mengenai PHK besar-besaran jika larangan ekspor berlaku tidak akan terjadi jikaperusahaan tambang sedari awal mempunyai komitmen kuat dalam pengolahan dan pemurnian mineral dengan mendirikan smelter atau bekerjasama dengan perusahaan lainyang mempunyai fasilitas tersebut.

“Kedaulatan sumber daya alam khususnya mineral Indonesia harus terus dikawal! Tolak, segala kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan bertentangan dengan UUD 1945 serta UU Minerba,” tandas Ahmad.(RA)