JAKARTA – Iklim investasi di Indonesia secara umum sudah membaik yang ditunjukkan dengan perbaikan peringkat ease of doing business yang dirilis Bank Dunia. Namun jika dilihat secara jeli ternyata perbaikan iklim itu tidak menyasar di sektor hulu minyak dan gas bumi.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menilai sektor hulu migas masih belum ada perbaikan. Ini ditunjukkan dengan kondisi sekarang, produksi migas terus menurun dan tidak adanya investasi baru dengan jumlah besar.

“Kemudahan investasi di Indonesia memang baik, ease of doing business baik, peringkat bagus, tapi kalau dikonversi investasi hulu migas itu tidak mencerminkan kemudahan berbisnis yang dirilis Bank Dunia,” kata Satya di Jakarta.

Pemerintah, kata dia, telah mencoba melakukan berbagai hal, seperti meluncurkan skema kontrak bagi hasil (PSC) gross split. DPR juga memuluskan skema terbaru itu karena menilai skema cost recovery era setelah diterbitkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas ternyata banyak terjadi masalah, terutama saat komponen cost recovery terus membengkak, namun produksi justru tidak membaik. Pun demikian dengan bagian negara yang justru tidak jarang menjadi lebih kecil karena ada faktor pengurang berupa cost recovery yang terus melonjak.

“Negara itu kadang hanya mendapatkan bagian 25%, bahkan 15%. Kami coba simulasi 60-40, pemerintah Indonesia di bawah 10% itu data statistik. berarti apa? ada faktor pengurang untuk mendapatkan revenue, yang disebut cost recovery,” kata Satya.

Selain itu, terus membengkaknya cost recovery sebagai faktor pengurang juga disebabkan pengawasan yang dilakukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) tidak berjalan dengan baik.

“Ada satu problem adalah governance yang kami amanahi untuk melakukan evaluasi PSC. siapa institusi yg menangani itu, SKK Migas. Mereka tidak melakuakn governance dengan baik,” ungkap Satya.

Atas dasar itu DPR berharap skema gross split yang diusung pemerintah bisa menjamin penerimaan negara, tanpa ada faktor pengurang yang terlalu besar.

Namun harapan tersebut ternyata tidak terpenuhi, karena setelah dijalankan skema gross split tidak sesuai dengan apa yang ditargetkan sebelumnya. Hal itu ditunjukkan dengan para peserta lelang WK migas terakhir, tidak ada perusahaan besar yang ikut melakukan penawaran.

Ada beberapa perusahaan yang tergolong besar dan National Oil Company (NOC), namun portofolio mereka bukan sebagai operator yang handal.

“Dalam perjalanan gross split tidak cantik-cantik amat, yang melamar tidak banyak. Kegamangan dan kegalauan kita karena investasi yang cenderung terus menurun,” papar Satya.

Ari Soemarno, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009 menilai seharusnya gross split menjadi alternatif bagi kontrak baru, bukan suatu keharusan. Apalagi lelang WK migas terakhir memprihatinkan. Ini bisa dilihat dari nilai komitmen investasi yang terbilang kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Apa yang terjadi kemarin, lima WK migas itu sangat memprihatinkan. Lima area investasi kecil, US$ 1,3 juta, US$ 1 juta, apa yang bisa dibuat. Itu survei umum awal saja,” kata Ari.

Susyanto, Sekretaris Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan gross split diluncurkan selain untuk menjamin penerimaan negara juga untuk meningkatkan transparansi keuangan. Pasalnya dari tahun ke tahun banyak temuan-temuan yang seharusnya tidak dimasukkan dalam komponen cost recovery, tapi justru dimasukkan. Belum lagi proses pembahasan untuk menentukan mana yang bisa di cost recovery atau tidak bisa memakan waktu lama dan akhirnya berimbas pada proses pembahasan rencana pengembangan.

“Ini makin lama prosesnya persetujuan rencana pengembangan blok migas bisa sampai 10 tahun. Padahal dulu 3-5 tahun. Kerumitan ini yang kami dibawa ke transparansi. Kita hitung dan tetapkan base splitnya di awal lalu ditambah komponen variabel,” tandas Susyanto.(RI)