JAKARTA – Impor gas yang tengah dikaji Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dinilai hanya menjadi solusi jangka pendek yang bisa segera diimplementasikan untuk menekan harga gas. Namun hal itu bisa dilakukan jika memang nilai keekonomian gas impor lebih baik dibanding produksi gas domestik.

Widodo Wahyu Purwanto, Guru Besar Fakultas Teknik UI, menyatakan pemerintah harus memperhatikan juga value chain dari harga gas. Karena penurunan harga gas tidak bisa hanya dibebankan oleh sektor upstream.

“Misalnya tadi penurunan itu yang ingin dicapai US$ 6 per MMBTU, kalau untuk LNG itu misalnya ada beberapa biaya seperti regasifikasi itu saja sudah US$ 4, kalau US$ 2 sisanya di upstreamnya. Nah ini mungkin enggak?” kata Widodo disela diskusi Ikatan Alumni Fakultas Teknik UI di Kampus UI Salemba, Rabu (12/10).

Harga gas industri turun mulai  1 Januari

Menurut Widodo, untuk saat sekarang impor memang dimungkinkan karena harga gas di pasar internasional juga sedang murah. Pasalnya untuk penetapan harga gas internasional berkorelasi dengan harga minyak dunia, sedangkan harga minyak saat ini sedang jatuh.

“Kalau harga gas lebih murah impor ya bisa, tapi kalau lebih harga gas dari luar lebih mahal, ya tidak bisa impor. Sekarang kan lebih murah, karena harga gas diluar link dengan harga crude oil,” tukasnya.

Sementara itu, Andy Noorsaman Sommeng, Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, mengungkapkan opsi impor gas patut dicoba. Namun untuk bisa menyamakan harga gas sesuai target pemerintah sebesar US$ 6 per MMBTU bukan perkara mudah. Pasalnya, ada perbedaan kontrak jual beli gas disetiap daerah atau wilayah.

“ US$ 6/MMBTU bisa saja. Tapi kan tidak bisa merata ke semuanya. Karena kontrak-kontrak baru kan per daerah dan per wilayah,” kata dia.

Menurut Andy, pemerintah paling tidak bisa melakukan intervensi menekan harga gas bagi sumur-sumur yang sudah tua, karena rencana pengembangan (plan of development/PoD) awal dulunya masih cukup rendah tidak seperti sekarang.

“Kalau sumur-sumur yang sudah mature kan bisa terus ditekan dan sama rata harganya,karena yang PoD lama kan cuma US$ 2 per MMBTU,” tandas dia.(RI)