JAKARTA – Upaya banding terhadap keputusan majelis hakim yang menolak gugatan yang dilayangkan  Eksekutif Nasional WALHI dan Warga Kanci Kulon terhadap Izin Lingkungan yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 1 x 1000 MW di Cirebon merupakan bagian dari upaya pembelaan terhadap hak atas lingkungan hidup. Baik terhadap semua lapisan masyarakat,  mulai dari petani, nelayan hingga warga terdampak lainnya. Serta memastikan pemerintah untuk tidak lagi mendorong proyek energi kotor batu bara yang menyebabkan kerusakan iklim .

“Sudah ada putusan atas upaya banding warga, nebis in idem. Kami akan ajukan banding lagi,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi Eksekutif Nasional WALHI, kepada di Jakarta, Jumat (4/5).

Hakim menyatakan PTUN Bandung tidak berwenang mengadili, memutus dan memeriksa perkara tersebut. Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim menyatakan banding atas keputusan majelis hakim tersebut.

Menurut Dwi, pembangunan PLTU Cirebon 2 merupakan bagian proyek energi nasional 35 MW yang sangat ambisius dan kontradiktif terhadap target pencapaian penurunan emisi pemerintah.

“Hampir 60% proyek listrik baru masih menggantungkan pada batu bara sebagai energi primer. Hal ini akan memperburuk emisi karbon dari sektor energi setidaknya hingga dua puluh tahun kedepan,” kata Dwi.

Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim berpendapat bahwa putusan tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi kasus-kasus yang izin lingkungannya dibatalkan karena bertentangan dengan tata ruang dengan alasan bahwa usaha tersebut merupakan proyek strategis nasional. Seharusnya, pengaturan tata ruang tidak dipahami sebagai syarat administratif semata, tetapi harus dipahami sebagai bagian dari upaya perlindungan ruang hidup masyarakat.

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional dijadikan dalih untuk mempercepat pelaksanaan proyek kotor energi batu bara. Peraturan Pemerintah itu mengatur rekomendasi yang diberikan kepada pembangunan proyek strategis nasional yang bertentangan dengan tata ruang daerah. Dengan alasan percepatan proyek startegis nasional, PP no 13 Tahun 2017 dianggap menjadi solusi terhadap penyesuaian RTRW kabupaten/kota dan provinsi yang akan memakan waktu lama.

Dwi menambahkan, penerobosan hukum terkait PP No 13 Tahun 2017 merupakan upaya sistematis dari negara yang berpotensi merusak tatatan pengaturan soal tata ruang yang dapat mengakibatkan rusaknya tatatan ruang hidup di Kabupaten Cirebon khususnya dan nasional pada umumnya. Terutama pada pasal 114a dibuat atas dasar kepentingan pembangunan semata tanpa melihat pertimbangan sosial, lingkungan dan tatatan ruang hidup di tingkat tapak.

Perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL) (Power Purchase Agreement/PPA) ekspansi Cirebon Power telah dilakukan pada 23 Oktober 2015 antara PLN dan Cirebon Power sebagai pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Pekerjaan konstruksi telah dimulai sejak 31 Maret 2016 dengan penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) Terbatas kepada kontraktor EPC yang dipimpin oleh HDEC (Hyundai Engineering Corporation).

Dengan mengadopsi teknologi ultra super critical, pembangkit yang berlokasi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini kelak akan menggunakan batu bara kalori rendah yakni 4.000 hingga 4.600 kkal per kilogram, dan dapat melakukan pembakaran dengan efisiensi tinggi sehingga lebih ramah lingkungan.

PLTU Cirebon Ekspansi diproyeksikan mampu menghasilkan energi 7.533 GwH per tahun. Daya yang dihasilkan akan memperkuat sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali menggunakan transmisi 500 KV melalui koneksi gardu induk Mandirancan. Cirebon Power adalah konsorsium sejumlah korporasi yaitu Marubeni (Jepang), Indika Energy (Indonesia), Samtan dan Komipo (Korea) dan Jera (Jepang). Cirebon Power telah mengoperasikan pembangkit Unit 1 berkapasitas 660 MW dengan teknologi Super Critical Boiler sejak 2012.

Cirebon Power Unit 1 telah berperan sebagai salah satu penopang sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali dengan menyumbang 4.914 GwH per tahun. Sejak dioperasikan, Cirebon Power Unit 1 telah menjaga tingkat ketersediaan pasokan listrik (availability factor) diatas 90 %, dan tingkat emisi kurang dari sepertiga ambang batas nasional.

“Keterlanjuran pembangunan malah dibuat pembenaran dengan perbagai macam cara, termasuk penerbitan peraturan dan izin yang melanggar tata cara pemerintahan yang baik. Ini berbahaya bagi upaya perlindungan hukum, karena izin lingkungan yang sejatinya alat untuk melindungi lingkungan hanya dilihat menjadi syarat administratif saja,” kata Dwi.(RA)