JAKARTA – Rencana penerapan skema gross split diyakini akan membuat proses pengelolaan blok migas menjadi lebih efisien, baik dari sisi proses perizinan maupun efisiensi waktu. Serta biaya yang digunakan, terutama perdebatan dalam penggunaan cost recovery.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan rencana pemerintah untuk menerapkan skema gross split sebagai respon atas tingginya biaya yang digunakan dalam pengelolaan migas selama ini ketika menggunakan skema cost recovery, apa lagi pembiayaannya terus meingkat sementara produksi terus menurun.

“Arahan Pak Presiden, semua industri harus makin efisien. Gross split ini arahan beliau, harus sebisa mungkin efisien,” kata Jonan di Jakarta, Senin (19/12).

Menurut Jonan, untuk mengejar efisiensi, peran pemerintah justru besar. Pemerintah dengan skema ini bisa menetapkan standarisasi awal pemilihan komponen pengelolaan blok migas, seperti teknologi yang bisa digunakan, dan disatu sisi juga mampu mendorong peningkatan produksi melalui mekanisme insentif.

“Pemerintah bikin sistem insentif splitnya. Kalau gunakan TKDN berapa persen, insentifnya berapa. Jadi real, kalau sekarang ini kan setengah paksa. ini kan jadi enggak enak. Jadi nanti kita fair bisnis saja,” ungkapnya.

Jonan mengatakan sistem cost recovery sudah tidak relevan jika dihubungkan dengan anggaran yang sudah dialokasikan pemerintah. Untuk tahun ini saja pemerintah sudah menetapkan anggaran cost recovery sebesar US$8,5 miliar. Setelah berkonsultasi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), jumlah tersebut dinilai tidak akan cukup untuk bisa mengcover semua biaya yang telah dikeluarkan kontraktor.
Perdebatan pun dipastikan akan kembali terjadi untuk menekan bisa cost recovery 2016. Padahal saat ini fokus seharusnya diberikan pada perencanaan kegiatan investasi guna menemukan cadangan minyak yang baru.
“Dari pada ribut begini, sudah bagi diatas aja. Negara dapat berapa, kita fokus eksplorasi, penemuan ladang baru. Biayanya biar dimanage secara efisien,” tukas Jonan.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menegaskan gross split yang mengharuskan kontraktor untuk mengatur pembiayaannya sendiri tanpa mengharapkan cost recovery diyakini mampu mendorong kontraktor untuk bisa bekerja dengan efisien. Apalagi dalam bisnis perusahaan pasti memiliki visi untuk bisa bekerja dengan biaya rendah. “KKKS akan mencari the less cost dari sebuah prdouk atau servis,” tambahnya.
Selain efisiensi transfer teknologi juga bisa terjadi dengan penerapan skema baru nantinya. Kondisi lapangan migas Indonesia yang sudah membuat usaha ekstra dan penerapan teknologi menjadi suatu keharusan. “Indonesia juga tantangannya teknologi. Ladang kita yang existing itu sudah tua, produksi akan turun. untuk meningkatkan produksi maka perlu teknologi,” kata dia.
Rencana penerapan gross split dalam kontrak pengelolaan blok migas tanah air dinilai sebagai inovasi positif dari sisi upaya pemerintah untuk bisa menekan biaya tinggi di skema cost recovery.
Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR, mengakui penerapan cost recovery selama ini memang kurang efisien. Lamanya perdebatan serta potensi kerugian negara memang bisa terjadi di skema yang telah dijalankan pemerintah selama bertahun-tahun itu. Untuk itu menurutnya jika ada skema baru yang lebih simple tidak ada salahnya untuk bisa diterapkan.

“Gross split ini akan mendorong KKKS lebih efisien, karena yang pasti kita koreksi cost recovery tidak efisien dengan dorongan yang lebih efisien soal berapa pembagian spilitnya itu bisa dihitung dan dirumuskan,” tandasnya.(RI)